Salurkan Waqaf, Infaq dan Shadaqah/Sumbangan Anda untuk PEMBANGUNAN MASJID AD DA'WAH Jl.KH.Sirodj Salman RT.27 Samarinda melalui: BANK SYARIAH MANDIRI Rek. 7036237362

Rabu, 25 Juni 2008

Syamsul : Ahli Falak Muhammadiyah Jangan Ketinggalan Kereta



Yogyakarta-Setelah tahun 2007 terselenggara Simposium Internasional tentang Penyatuan Kalender Islam se-Dunia, selasa (24/06/2008) ini ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah mengkaji perkembangan pembuatan kalender Internasional yang memang hingga saat ini masih belum terwujud. Menurut Prof. Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam pembukaan acara tersebut, Muhammadiyah sebagai pelopor penggunaan Hisab jangan sampai tertinggal wawasannya tentang perkembangan metode Hisab yang beberapa tahun terakhir berkembang pesat. “Jangan sampai ketinggalan kereta, apalagi kitalah pelopor penggunaan Hisab” tegas Syamsul. “Sebagai gerakan Modernis, kita bisa tidak modern lagi” ingat Syamsul.

Menurut Syamsul di Ruang Sidang Universita Muhammadiyah Yogyakarta tersebut, Dunia Islam mulai Abad 8 hingga abad 13 berkembang pesat pengkajian ilmu falak. Pada masa itu lahir Al Battani yang dikenal pembuat kalender yang kita kenal dengan nama Al Manak, yang sebenarnya merupakan kalender Urfi. Kalender Urfi ini tidak didasarkan pada gerak bulan, namun membagi hari dalam setahun, kemudian membagi jumlah hari pada bulan bulan secara berselang seling, 30 hari dan 29 hari. Kalender ini mengenal tahun Kabisat 11 hari dalam tempo 30 tahun pada bulan Zulqoidah. Namun kalender yang dibelakukan pada abad 10 oleh Al Hakim bin Amrillah, Khalifah Fatimiyah dan Mesir memiliki persoalan dimana bulan Ramadhannya 30 hari terus. “Padahal Rasulullah mengalam sembilan kali Ramadhan, dua kali 30 hari dan tujuh kali 29 hari, sedangkan kalender urfi, selamanya 30 hari” terang Syamsul. “ Inilah awal kalender dalam sejarah Islam, walaupun banyak kwelemahannya”.

Lebih lanjut Syamsul menyatakan bahwa Ilmu Falak itu mati di dunia sejak abad ke-13 sampai abad ke-20, hingga tahun 1910 ilmuan barat kembali membangkitkan pengkajian Ilmu Falak/Astronomi. Tahun 1981 lahir Ilmuan Islam yang ikut mengkaji Ilmu Falak benama Muhammad Ilyas dari Maalaysia, dan mulai saat itu perkembangan sangat cepat. Tahun 1998 menurut Syamsul titik perkembangan ilmu falak di dunia Islam cukup maju dengan didirikan ICOP (Islamic Crescents’ Observation Object) dengan website www.icoproject.org. “Mari ahli falak tarjih dan ahli fiqhnya harus sering membuka situsnya, karena memuat perkembangan ilmu falak umat Islam beberapa tahun terkahir ini, sehingga kita bisa mendapat informasi baru perkembangan Ilmu Falak Syar’i di kalangan Umat Islam beberapa tahun terakhir ini” pesan Syamsul.

Perkembangan Software

Syamsul juga mengingatkan kepada peserta yang terdiri dari utusan wilayah dan undangan-undangan khusus para ahli tersebut, bahwa saat ini teknologi software juga terus berkembang, seperti yang di kembangkan ketua ICOP Muhammad Audah. “Muhammadiyah juga tidak boleh ketinggalan, paling tidak kita mampu mengembangkan software yang praktis yang bisa digunakan untuk menentukan arah kiblat, waktu sholat, menghitung ketinggian bulan, dan matahari” harap Syamsul. “Karena kita harus mencari cara bagaimana kita berfikir ke arah itu” lanjutnya. “karena kalau kita diam terus, orang berkembang terus kita akan ketinggalan” pesan Syamsul lagi. ” Karena itu salah satu upayanya, saat ini Majelis Tarjih bekerjasama dengan UMY, sedang mengembangkan Pusat Studi Falak” terang Syamsul (arif).(www.muhammadiyah.or.id)

Kamis, 19 Juni 2008

Idol dan Berhala

Oleh Eko Prasetyo

Industri televisi di Indonesia sekarang hanya mementingkan selera pasar dan meraup keuntungan besar dari situ tanpa mengindahkan aspek mendidik. Disadari atau tidak, masyarakat kita cenderung dibodohi oleh tontonan di televisi. Yang memprihatinkan, justru acara tersebut diputar di premier time atau pukul 19.00-21.00.

Di waktu-waktu itulah, acara televisi tersebut sering ditonton oleh anak-anak. Kesedihan atau kesialan dieksploitasi untuk menarik simpati penonton. Kita bisa lihat acara-acara reality show remaja yang sama sekali tidak mendidik. Di situ, dipertontonkan bagaimana sepasang muda-mudi pacaran yang bisa bermesra-mesraan di depan umum. Seolah-olah, pacaran itu sudah umum dan sah-sah saja dilakukan. Legitimasi semacam ini sangat memprihatinkan.

Padahal, gaya hidup pacaran itu bisa menghadirkan perbuatan zina yang dilaknat Allah. Yang lebih memprihatinkan, acara valentine tiap tahun dirayakan tidak hanya oleh anak muda, tapi ada pula orang tua dengan ritual memberi bunga ataupun cokelat kepada pasangan. Masya Allah. Sedemikian rupa budaya Barat yang merusak itu telah diadopsi oleh masyarakat awam kita. Bahkan, acara-acara itu menjadi ladang bisnis yang nyata-nyata secara perlahan bisa menghancurkan akhlak seseorang.

Hampir selalu saya perhatikan, di kampung, rumah tetangga, kantor, warung kopi, di mana-mana, acara idol-idol-an makin semarak dengan peminat penonton yang tidak sedikit. Indonesian Idol, misalnya. Ini sangat membuat saya penasaran. Sehingga, saya mencari tahu dari mana asal mula acara yang diadopsi dari American Idol tersebut. Hasilnya?

Saya kaget ternyata kata “idol” itu berasal dari bahasa Ibrani yang artinya adalah berhala. “Kalau sudah begini, terus piye?” tanya saya di sebuah diskusi pengajian. “Ini jelas pembodohan, ” ujar seorang kawan.

Betapa media sangat berperan dalam membangun stigma kurang mendidik seperti ini. Terutama, acara-acara reality show yang menawarkan menjadi bintang secara instant. Ada satu lagi yang cukup mengusik hati saya. Yakni, acara talent search untuk anak-anak. Gimana tidak? Wong, ada tetangga saya, seorang ibu-ibu, yang saking histerisnya melihat ”idola”nya tereleminasi sampai menangis. Astagfirullah.

Di sini, ada suatu fenomena yang tidak baru, tapi muncul lagi dan masih ampuh memengaruhi penonton. Yakni, air mata. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak di antara finalis talent search di Indonesia (mulai zaman AFI) menjual kisah sedih mereka sebagai bagian dari strategi penjualan yang efektif. Seolah-olah, suara atau kualitas mereka tidaklah cukup untuk dijual kepada masyarakat. Sehingga, semakin tragis kisahnya, semakin menarik untuk dijual. Banyak variasi kisah sedih yang dijual. Mulai keluarga yang miskin sampai harus menjual becak demi ongkos ke Jakarta, bekas korban kerusuhan, keluarga tidak harmonis, single-parent, dan lain-lain. Masya Allah.

Hasilnya? Sukses dan tenar sesaat. Ada jebolan talent search yang bisa bertahan menjaga ketenarannya bukan karena skill yang dimiliki, tapi lebih karena fisikal semata. Ada pula yang terjerat utang hingga jutaan atau puluhan juta hanya untuk mengirimkan SMS demi memenangkan voting. Nah, sekarang kalau anak-anak yang mengikuti talent search itu, secara tidak sadar mereka telah dieksploitasi demi keuntungan program atau media yang menayangkannya.

Haruskah anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya di saat mereka masih harus menikmati masa anak-anaknya? Haruskah budaya Barat yang meracuni masyarakat semacam itu hanya kita biarkan? Karena itu, pendidikan agama begitu penting berperan di sini. Fondasi Islam harus ditanamkan kepada generasi muda, terutama sejak dini.

Rasulullah bersabda, ”Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat.” (HR Abu dawud dan al-Hakim). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan lewat Ibnu Abbas ra,

Rasulullah juga bersabda, “Taatlah kepada Allah dan takutlah berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Sebab, hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari siksa neraka.” Jelas sudah lewat hadis di atas bahwa pendidikan akhlak dan agama harus dberikan kepada anak-anak sejak dini. Tujuannya, agar anak-anak kita, generasi Islami mendatang, tidak mudah terjerumus terhadap hal atau acara yang tidak mendidik. Indonesia, please be objective and never fall into the same trap again. prasetyo_pirates@yahoo.co.id (eramuslim.com)

Islam di Amerika Sebelum Columbus

gaulislam.com Indahnya Islam by Hafsa Mutazz on the June 18th, 2008
Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai ‘The New World’ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober 1492. Namun, bagi umat Islam di era keemasan, Amerika bukanlah sebuah ‘Dunia Baru’. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika.

Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari setengah milenium sebelum Columbus. Secara historis umat Islam telah memberi kontribusi dalam ilmu pengetahuan, seni, serta kemanusiaan di benua Amerika.

”Tak perlu diragukan lagi, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya,” tutur Fareed H Numan dalam American Muslim History A Chronological Observation. Sejarah mencatat Muslim dari Afrika telah menjalin hubungan dengan penduduk asli benua Amerika, jauh sebelum Columbus tiba.

Sejarawan Ivan Van Sertima dalam karyanya They Came Before Columbus membuktikan adanya kontak antara Muslim Afrika dengan orang Amerika asli. Dalam karyanya yang lain, African Presence in Early America, Van Sertima, menemukan fakta bahwa para pedagang Muslim dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di Amerika.

Van Sertima juga menuturkan, saat menginjakkan kaki di benua Amerika, Columbus pun mengungkapkan kekagumannya kepada orang Karibian yang sudah beragama Islam. “Columbus juga tahun bahwa Muslim dari pantai Barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara,” papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli.

Menurut Van Sertima, Columbus pun mengaku melihat sebuah masjid saat berlayar melalui Gibara di Pantai Kuba. Selain itu, penjelajah berkebangsaan Spanyol itu juga telah menyaksikan bangunan masjid berdiri megah di Kuba, Meksiko, Texas, serta Nevada. Itulah bukti nyata bahwa Islam telah menyemai peradabannya di benua Amerika jauh sebelum Barat tiba.

Fakta lainnya tentang kehadiran Islam di Amerika jauh sebelum Columbus datang juga diungkapkan Dr Barry Fell, seorang arkeolog dan ahli bahasa dari Universitas Harvard. Dalam karyanya berjudul Saga America, Fell menyebutkan bahwa umat Islam tak hanya tiba sebelum Columbus di Amerika. Namun, umat Islam juga telah membangun sebuah peradaban di benua itu.

Fell juga menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Menurut dia, bahasa yang digunakan orang Pima di Barat Daya dan bahasa Algonquina, perbendaharaan katanya banyak yang berasal dari bahasa Arab. Arkeolog itu juga menemukan tulisan tua Islami di beberapa tempat seperti di California.

Di Kabupaten Inyo, negara bagian California, Fell juga menemukan tulisan tua lainnya yang berbunyi ‘Yasus bin Maria’ yang dalam bahasa Arab berarti “Yesus, anak Maria”. “Ini bukan frase Kristen,” cetus Fell. Faktanya, menurut dia, frase itu ditemukan dalam kitab suci Alquran. Tulisan tua itu, papar dia, usianya lebih tua beberapa abad dari Amerika Serikat.

Arkeolog dan ahli bahasa itu juga menemukan teks, diagram, serta peta yang dipahat di batu yang digunakan untuk kepentingan sekolah. Temuan itu bertarikh antara tahun 700 hingga 800 M. Teks serta diagram itu berisi mata pelajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi, dan navigasi laut. Bahasa pengajaran yang ditemukan itu menggunakan tulisan Arab Kufi dari Afrika Utara.

Sejarawan seni berkebangsaan Jerman, Alexander Von Wuthenau, juga menemukan bukti dan fakta keberadaan Islam di Amerika pada tahun 800 M hingga 900 M. Wuthenau menemukan ukiran kepala yang menggambarkan seperti bangsa Moor. Itu berarti, Islam telah bersemi di Amerika sekitar separuh milenium sebelum Columbus lahir.

Dia juga menemukan ukiran serupa bertarik 900 M hingga 1500 M. Artifak yang ditemukan itu mirip foto orang tua yang biasa ditemui di Mesir. Youssef Mroueh dalam tulisannya Muslim in The Americas Before Columbus memaparkan penuturan Mahir Abdal-Razzaaq El, orang Amerika asli yang menganut agama Islam. Mahir berasal dari suku Cherokee yang dikenal sebagai Eagle Sun Walker.

Mahir memaparkan, para penjelajah Muslim telah datang ke tahan kelahiran suku Cherokee hampir lebih dari 1.000 tahun lalu. Yang lebih penting lagi dari sekedar pengakuan itu, kehadiran Islam di Amerika, khususnya pada suku Cherokee adalah dengan ditemukannya perundang-undangan, risalah dan resolusi yang menunjukkan fakta bahwa umat Islam di benua itu begitu aktif.

Salah satu fakta yang membuktikan bahwa suku asli Amerika menganut Islam dapat dilacak di Arsip Nasional atu Perpustakaan Kongres. Kesepakatan 1987 atau Treat of 1987 mencantumkan bahwa orang Amerika asli menganut sistem Islam dalam bidang perdagangan, kelautan, dan pemerintahan. Arsip negara bagian Carolina menerapkan perundang-undangan seperti yang diterapkan bangsa Moor.

Menurut Youssef, pemimpin suku Cherokee pata tahun 1866 M adalah seorang pria bernama Ramadhan Bin Wati. Pakaian yang biasa dikenakan suku itu hingga tahun 1832 M adalah busana Muslim. ”Di Amerika Utara sekurangnya terdapat 565 nama suku, perkampungan, kota, dan pegunungan yang akar katanya berasal dari bahasa Arab,” papar Youssef.

Fakta-fakta itu membuktikan bahwa Islam telah hadir di tanah Amerika, ketika kekhalifahan Islam menggenggam kejayaannya. Hingga kini, agama Islam kian berkembang pesat di Amerika - apalagi setelah peristiwa 11 September. Masyarakat Amerika kini semakin tertarik dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar.
heri ruslan (republika)

Selasa, 10 Juni 2008

Surat Yunus Ayat 99-100


Ahmad Syafii Ma'arif
Arti selengkapnya dari surat Yunus ayat 99 ini adalah: "Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia yang ada di muka bumi. Lantaran itu, patutkah engkau memaksa manusia agar mereka beriman seluruhnya?" Ayat 100 berikutnya: "Dan tidaklah seseorang akan beriman, melainkan dengan izin Allah." Artinya, untuk beriman perlu lampu hijau dari Allah, menurut ayat ini. Tanpa perkenan dari Yang Maha Pemberi Izin, iman itu tidak akan terjadi. Sebab itu, menurut surat Makkiyyah ini, setiap paksaan untuk beriman, halus apalagi kasar, sepenuhnya melanggar ketentuan Allah.

Adapun menyampaikan dakwah agar manusia mau beriman, jelas merupakan kewajiban agama. Tetapi dalam proses dakwah itu, unsur paksaan dilarang keras. Sebenarnya jika mau jujur, di antara metode dakwah yang paling efektif ialah dakwah dengan contoh perbuatan. Tidak usah jauh-jauh mencari contoh. Di sebuah RT, misalnya, ada dua keluarga Muslim yang jadi buah bibir masyarakat sekitarnya dalam arti positif, padahal lingkungannya mayoritas non-Muslim. Orangnya ramah, sopan, suka memberi siapa saja, tidak terikat dengan agama yang dipeluknya. Penampilannya tidak dibuat-buat, lumrah, semuanya autentik sebagai tanda percaya diri yang tinggi. Jika ada kematian di RT itu, keluarga Muslim itu cepat turun tangan untuk mengulurkan bantuan apa yang mungkin. Dunia fitnah dijauhinya. Menghukum mereka yang seagama tetapi tidak sepaham dalam penafsiran, pantangan baginya. Kenisbian manusia untuk menangkap yang mutlak adalah pegangan utamanya dalam beragama. Seluruh warga RT itu merasa akan sangat kehilangan jika dua keluarga Muslim itu pindah ke tempat lain. Di mana-mana akan terdengar ucapan: "Aduh, mengapa si anu itu pindah dari lingkungan kita, padahal kita sangat memerlukannya agar tetap bersama kita di sini, sekalipun kita berlainan agama."

Contoh yang saya berikan ini bukanlah sesuatu yang asing, semuanya empirik, dapat dilakukan siapa saja, apa pun agama yang dipeluknya. Jika kemudian ada yang tertarik untuk mengikuti agama dua keluarga Muslim itu secara sadar, tanpa ada tanda-tanda paksaan, maka boleh jadi izin Allah untuk beriman itu memang sedang berlaku. Teladan yang ditunjukkan dua keluarga Muslim itu semata-mata sarana bagi keluarnya izin itu. Tidak lebih dari itu.

Saya punya pengalaman khas tentang hal yang mirip, saat saya kuliah dengan Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Mahasiswa yang ikut kuliahnya berasal dari bermacam agama: Katolik, Protestan, Shinto, Yahudi, dan Muslim. Dengan kepercayaan diri yang sangat kuat, Rahman dalam seluruh kuliahnya tidak ada bayangan agar mahasiswanya menjadi Muslim. Mungkin Rahman berpendapat, daripada menambah pengikut, lebih baik jumlah Muslim sedunia di atas satu miliar itu ditingkatkan kualitasnya.

Tetapi, apa yang terjadi? Beberapa mahasiswanya yang non-Muslim saya dengar belakangan telah menjadi Muslim atau Muslimah, sesuatu yang tidak diniatkan Rahman sewaktu memberi kuliah. Metode perkuliahan yang mendalam, objektif, tanpa basa-basi, rupanya telah bersarang secara diam-diam dalam otak dan hati para mahasiswanya. Maka, terjadilah apa yang terjadi. Izin Allah rupanya berlaku melalui cara-cara yang tak disengaja itu. Tentu saja ruh Rahman di alam baka tersenyum menyaksikan apa yang terjadi pada sejumlah mantan mahasiswanya, sebagian adalah teman-teman sekelas saya. Sebab itu, Anda janganlah terlalu bernafsu untuk 'menaklukkan' dunia agar beriman seperti Anda. Biarlah proses itu berjalan secara wajar. Bukankah kualitas itu jauh lebih penting dari kuantitas, jika kuantitas itu tidak lebih dari beban sejarah?

Dua contoh, RT dan Rahman, mungkin dapat dijadikan bahan renungan: satu untuk akar rumput, yang lain untuk tingkat yang lebih tinggi. Tetapi ingat, Rahman pernah dihalalkan darahnya di Pakistan, tanah airnya, oleh mereka yang wawasan keagamaan dan kemanusiaannya hanyalah sebatas tuturan atapnya, atau paling jauh sebatas halaman rumahnya. Kata pepatah: "Jika kail panjang sejengkal, janganlah laut hendak diduga!" Mari kita sama-sama belajar dari sumber yang beragam untuk saling bertukar pendapat dengan cara yang santun, jujur, dan mendalam. Musuh terbesar kita adalah kedangkalan dan sifat memonopoli kebenaran (www.muhammadiyah.or.id)

Sabtu, 07 Juni 2008

KH. Cholil: Insiden Monas Cuma Asap Saja

Ketua MUI, KH. Cholil Ridwan mengatakan, insiden Monas cuma “asap”. Untuk menghilangkannya, maka, apinya harus lebih dahulu dipadamkan

Hidayatullah.com—Ketua MUI, KH. Cholil Ridwan mengatakan, insiden Monas Ahad, (1/6), lalu cuma “asap”. Untuk menghilangkan asap tersebut, maka apinya harus dipadamkan.

Yang dimaksud “api”, kata KH. Cholil adalah, segala tindak kekerasan terhadap akidah umat Islam serta penodaan terhadap Al-Quran. Bentuk kekerasan yang bersifat psikis ini, menurutnya sangat menyakitkan. Lebih sakit ketimbang serangan pisik yang bisa hilang dalam beberapa waktu.

“Ini sangat menyakitkan. Apalagi kita yang berada di MUI, yang tugaskan untuk mengawal akidah umat Islam di Indonesia,” ujar KH Cholil dalam acara diskusi sekaligus peluncuran Majalah Al-Mujatama’ di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta (6/6), tadi malam.

Untuk memadamkan “api” tersebut diperlukan air, dan “airnya” adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Pasal 1 UU ini berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.”

Pasal ini telah diterapkan terhadap aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah, yang juga mengakui adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasslallaam. Pemimpin alirannya dipenjara, ajarannya dilarang, dan organisasinya dibubarkan. Tapi herannya, kata KH. Cholil, mengapa hal tersebut sulit sekali dilalukan terhadap Ahmadiyah?

Kepada umat Islam, Cholil Ridwan menghimbau untuk berada dalam satu shaf perjuangan, membentuk front perlawanan melawan “kafir”. Kedua, umat Islam juga harus berada dalam satu arah/agenda, yakni tetap membubarkan Ahmadiyah. Ketiga, Cholil juga meminta umat Islam untuk istiqamah dan tidak membuka peluang konflik. Di antaranya dengan tidak melakukan tindakan atau pernyataan yang menyulut emosi. [Surya/cha/www.hidayatullah.com

FUI Tuding AS Otaki Insiden Monas



Jakarta - Forum Umat Islam (FUI) mencurigai insiden monas didalangi pihak asing. Bahkan AKK-BB dituding telah menerima duit US$ 26 juta dolar sejak 1995 hingga 1997.

Kecurigaan FUI ini didasari kedatangan Kuasa Usaha Kedubes AS untuk Indonesia, John Heffrn menjenguk anggota AKK-BB yang menjadi korban insiden Monas 1 Juni.

"John Heffern datang membesuk para korban dari AKK-BB. Ini menimbulkan tanda tanya publik. Ada hubungan apa antara orang-orang yg dijenguk tadi dengan kedubes AS," ujar Ketua Gerakan Persaudaran Muslim Indonesia (GPMI) Ahmad Sumargono.

Hal itu disampaikan dia dalam jumpa pers yang digelar FUI di Hotel Sofyan Cikini, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat. Sekadar diketahui, GPMI adalah salah satu organisasi yang tergabung dalam FUI.

Selain itu, Sumargono mengungkapkan, AS telah menerbitkan rilis yang meminta pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan insiden Monas. Penerbitan rilis ini dinilai sebagai bentuk campur tangan AS.

Sumargono juga membeberkan, Adnan Buyung Nasution, yang juga salah satu tokoh AKK-BB, telah menerima duit US$ 26 juta dari AS sejak tahun 1995 hingga 1997. "Melalui YLBHI, Adnan Buyung telah menerima dana dari USAID. Dana ini yang menyebabkan terjadinya gelombang reformasi yang membuat Indonesia amburadul di bawah eksploitasi kaum kapitalis liberal," tuturnya.

Data ini didapat Sumargono berdasarkan tulisan di New York Time. Sumargono mengatakan tulisan New York Time itu diperkuat dari Maruli Tobing dalam harian Kompas, 9 Februari 2001 yang menyebut 'Lewat bantuan itu pula tidak adapula salahnya mencurigai CIA ikut dalam peristiwa yang terjadi 13 hingga 15 Mei 1998 di Jakarta'.

Rencananya, FUI akan menyerahkan bukti-bukti keterlibatan pihak asing ini ke Mendagri sebagai bahan pertimbangan. "Syarat sebuah ormas dibubarkan salah satunya adalah mendapat bantuan dari asing. Bukti ini akan kami serahkan ke Mendagri sebagai pertimbangan saja," katanya. (Detik)(www.swaramuslim)

Insiden Monas, Upaya Pembunuhan Karakter Umat Islam


Tuntutan terhadap pembubaran Ahmadiyah dan counter terhadap isu yang mendiskreditkan kelompok Islam tidak harus dilakukan dengan turun ke jalan. Ba'da Sholat Jum'at, sekitar 200 orang menghadiri Tabligh Akbar bertajuk Membangun Ukhuwah dan Kesatuan Umat Menolak Adu Domba, yang diselenggarakan Forum Umat Islam.

Acara tersebut diisi dengan tausyiah dari tokoh-tokoh Islam, dalam menyikapi Insiden Monas yang di mana tampak indikasi upaya untuk memecahbelah umat Islam.

Ketua Majelis Syuro Front Pembela Islam Habib Muhsin Alatas mengatakan, ada skenario global di balik insiden Monas 1 Juni lalu, di mana agen-agen asing ikut bermain didalamnya.

Bahkan, menurutnya, ada upaya pembunuhan karakter terhadap Habib Rizieq dan FPI yang selalu dengan lantang menyuarakan pembubaran Ahmadiyah.

"Kita menuntut pada pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah dari bumi Indonesia. Kita juga meminta jangan hanya FPI yang diproses, AKKBB juga harus diproses termasuk tokoh intelektualnya seperti Gus Dur, Syafii Maarif dan lainnya juga harus diproses, " tegasnya yang disambut dengan gema takbir.

Sementara itu, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto menyatakan, apa yang sedang terjadi ini adalah bentuk ketidakadilan terhadap umat Islam yang merupakan penduduk muslim mayoritas. Ia menegaskan, ketidakadilan ini akan terus terjadi negara ini tidak dipimpin oleh pemimpin yang tidak amanah, dan pemipin yang tergantung pada pihak asing, bukan pada dzat yang maha adil (Allah SWT).

"Dalam situasi seperti ini, umat Islam harus dapat membalikan opini yang sudah berkembang, " ujarnya.

Ia menilai perhatian berlebihan yang diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca Insiden Monas menjadi pertanyaan besar, padahal ketika peristiwa rusuh demo BBM pemerintah sama sekali enggan berkomentar, dan tidak mengeluarkan instruksi yang berlebihan terhadap aparat penegak hukum. Apakah ini skenario untuk menggagalkan terbitnya SKB Ahmadiyah, atau hanya sekedar mengalihkan dari isu BBM?(novel)(www.eramuslim)

Rabu, 04 Juni 2008

Kaum Ateis Pun Berhak Hidup di Muka Bumi


Ahmad Syafii Maarif

Dari pemahaman terhadap Alquran, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa beriman lebih baik daripada kufur. Ujung kufur hanya satu: malapetaka di sini atau di alam nanti atau pada kedua alam itu. Tetapi, iman saja tidak cukup tanpa diikuti oleh amal saleh. Iman memberi dasar ontologis yang teramat kokoh bagi kehidupan manusia. Sedangkan, amal saleh adalah bukti dan buah nyata bahwa iman seseorang itu benar-benar autentik. Orang yang mengaku beriman, tetapi tuna-amal saleh adalah iman palsu, iman tanpa bukti empirik.

Amal saleh meliputi semua perbuatan yang dicintai Allah, fisikal maupun spiritual, material, dan immaterial. Dengan demikian, radius cakupannya sungguh luas hampir tanpa tepi. Orang yang mengira bahwa amal saleh itu hanyalah sekadar mengisi infaq di saat shalat Jumat, jelas tidak paham substansi amal saleh itu. Dengan kata lain, amal saleh dalam makna filosofis tidak lain daripada membangun peradaban yang adil dan asri untuk semua makhluk di muka bumi, tanpa kecuali, termasuk untuk mereka yang tidak beriman.

Di depan hukum negara, kedudukan orang beriman dan mereka yang tuna-iman hampir tak berbeda. Seorang beriman sama hukumannya dengan orang yang tuna-iman. Jika mereka melakukan kejahatan serupa, sama sekali tidak boleh berlaku diskriminasi. Tuna-iman barangkali sama dengan ateisme. Ateisme sebenarnya juga sebuah kepercayaan, yaitu percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Adiknya adalah agnotisisme yang percaya bahwa manusia tidak mungkin tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, seorang manusia diberi hak dan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman (lih. Misalnya Surat Yunus: 99; Albaqarah: 256; Al Isra: 107). Risiko dari pilihan bebas ini sangat logis, yaitu bahwa manusia tidak punya alasan lagi untuk menggugat Allah jika nasib malang menimpa dirinya, kapan pun dan di mana pun, di sini atau di sana, di seberang kubur.

Menurut pemahaman saya, seorang warga beriman dapat saja bertetangga dengan warga ateis, dengan syarat agar mereka saling menghormati dan sama-sama patuh kepada konstitusi dan hukum positif yang berlaku. Bahkan lebih jauh dari itu, seorang beriman dapat berguru kepada seorang ateis, begitu juga sebaliknya, asal tidak ada paksaan. Dosen bahasa Persi saya di Universitas Chicago, asal Inggris, pada suatu kesempatan pernah mengatakan: "Dalam Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (punya potensi untuk beriman), tetapi menurut saya sebaliknya, seorang manusia dilahirkan dalam keadaan ateis."

Kita dapat saja menuding dosen ini edan, tetapi itulah fakta yang terungkap. Bagaimana sebenarnya gejolak hati yang di dalam, bukan urusan kita untuk menanyakan lebih lanjut, dan tidak ada gunanya. Pergaulan saya dengan dosen ini biasa saja, jika hasil ujian saya bagus diberinya angka A, jika kurang memuaskan dikasihnya B, tetapi angka C tidak pernah saya peroleh dari dosen ateis ini. Kesan saya dalam masalah angka-angka ini tidak ada kaitannya dengan iman atau tuna-iman.

Jika di Amerika orang diberi kebebasan untuk memilih, dalam kasus ini sesungguhnya negara itulah yang melaksanakan diktum Alquran di atas. Oleh sebab itu, di sebuah negara Muslim, jika kaum ateis tidak diberi hak hidup misalnya, maka dapat dikatakan bahwa diktum Alquran di atas yang demikian terang tidak dijadikan pedoman dan acuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimana negara Pancasila? Andalah yang harus menjawabnya, bukan saya.

Dalam perkembangan pemikiran manusia, isu-isu seperti yang saya lontarkan ini, lambat atau cepat, pasti akan mengemuka. Resonansi kali ini adalah antisipasi untuk serba kemungkinan itu. Seorang beriman tidak perlu risau dengan semuanya itu. Karena, iman sebagai hasil pilihan sadar akan bertahan abadi, sementara iman sebagai buah bujukan benda atau posisi, biasanya teramat rapuh.

_

Republika, 27 Mei 2008 (www.muhammadiyah.or.id)