Salurkan Waqaf, Infaq dan Shadaqah/Sumbangan Anda untuk PEMBANGUNAN MASJID AD DA'WAH Jl.KH.Sirodj Salman RT.27 Samarinda melalui: BANK SYARIAH MANDIRI Rek. 7036237362

Kamis, 10 Juni 2010

INTERVENSI*


Oleh: Syafiq A. Mughni

Muhammadiyah adalah ormas besar. Anggotanya banyak, kegiatannya komprehensif, demikian juga amal usahanya, dan jaringannya luas, sehingga punya pengaruh di tingkat massa. Kebesaran Muhammadiyah menyebabkannya menjadi sasaran kooptasi. Dalam perhitungan kasar, kekuasaan pasti berminat pada Muhammadiyah: bukan dalam arti memberi dukungan terhadap dakwahnya, tetapi mengkooptasi dan bahkan menaklukkannya. Karena itu, Muktamar sebagai puncak perhelatan musyawarah tertinggi akan menjadi ajang untuk kooptasi dan penaklukan itu. Penguasa pasti tidak akan membiarkan Muktamar lewat begitu saja.

Kekuasaan mungkin akan melakukan kooptasi dan penaklukan itu dengan beberapa cara. Cara pertama ialah brain washing (cuci otak). Dikesankan bahwa Muhammadiyah sekarang dalam kondisi krisis. Pimpinannya tidak kompak dan terlibat korupsi, program-programnya tidak jalan, tidak disukai pemerintah karena bersikap terlalu kritis, banyak yang sesat karena masuk ke dalam kelompok liberal. Cuci otak itu dilakukan oleh orang-orang tertentu dan disebarkan melalui media atau forum pertemuan dengan berbagai nama, seperti halaqah, safari atau rihlah. Dengan cara ini, banyak warga Muhammadiyah yang tertarik dengan tesis “Muhammadiyah dalam Krisis” itu, sehingga harus ada perubahan radikal dalam kepemimpinan, dengan keharusan menggusur orang-orang yang dipandang sebagai pangkal krisis. Untuk melakukan gerakan cuci otak, tentu dibutuhkan biaya besar. Orang Muhammadiyah “lugu” mungkin susah membayangkan dari mana datangnya uang itu. Tetapi orang Muhammadiyah yang melek politik, bisa menebak. Bukankah di kalangan politisi banyak uang bertaburan yang jumlahnya hampir tak terbatas?

Cara kedua ialah money politics (politik uang). Cara ini sering kali efektif untuk mempengaruhi pemilih. Ada sebuah gerakan dengan modal uang sangat besar untuk menentukan pilihan peserta Muktamar terhadap orang-orang yang harus dipilih atau yang harus disingkirkan dari kepemimpinan. Bukankah ada slogan bahwa sekarang ini “ketuhanan yang mahaesa” digantikan dengan “keuangan yang maha kuasa”. Maka, uang ditebarkan menjelang Muktamar; peserta diberi uang sebagai pertanda perhatian, didirikan posko-posko dan dipasanglah spanduk-spanduk dan baliho pendukung calon tertentu. Selama Muktamar, pelaku money politics menyewa hotel berbintang dan mengundang peserta Muktamar untuk keluar masuk, bebas tidur, makan dan minum sepuas-puasnya dengan gratis. Cara ini seringkali terbukti efektif dalam mengubah sikap peserta Muktamar.

Cara yang ketiga adalah operasi intelijen. Tahap pertama ialah mencari orang-orang Muhammadiyah yang potensial untuk direkrut sebagai lapisan kedua dalam gerakan intervensi. Lapisan inilah yang kemudian secara sistematik menjadi pelaku di lapangan. Mereka menemui satu persatu peserta Muktamar untuk ikut dalam gerakan intervensi. Demikian berjalan seterusnya sehingga mampu mengendalikan lebih banyak lagi peserta. Operasi intelijen tentu menggunakan banyak cara. Jika yang satu tidak efektif, akan dipergunakan cara lain. Gerakannya pun tidak tampak. Ketika berlangsung acara-acara sebelum pemilihan pimpinan, gerakan itu belum muncul dipermukaan. Maka ketika suara pemilihan itu dihitung, barulah orang tahu bahwa ternyata hasilnya di luar dugaan. Sampai di sini operasi intelijen belum berhenti karena masih ada rapat penentuan siapa ketua umumnya. Jika yang terpilih adalah sesuai skenario, maka operasi selanjutnya ditujukan untuk mempengaruhi komposisi pimpinan lengkap.

Tiga cara di atas tentu bisa dilaksanakan secara simultan. Siapa sesungguhnya yang potensial untuk melakukan intervensi? Siapa saja bisa asal punya kekuatan, baik uang, kekuasaan maupun pengaruh: bisa pemerintah, bisa politisi, dan bisa juga pengusaha. Mereka berpandangan bahwa Muhammadiyah harus dikooptasi dan ditaklukkan. Kalau tidak, ia akan menjadi penghalang bagi kepentingannya.

Apa yang dipaparkan di atas semoga hanya ilusi, semoga tidak terjadi. Tulisan ini dibuat semata berdasar pengalaman muktamar-muktamar di luar Muhammadiyah. Saya banyak diskusi baik dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun lainnya. Sebagian besar mereka sangat khawatir jika intervensi itu dialami oleh Muhammadiyah. Umat dan bangsa banyak berharap dari Muhammadiyah: mengharap agar ia tetap mencerahkan, menjadi kekuatan moral yang tidak pernah bergeser karena pragmatisme yang kronis. Muhammadiyah harus tetap menjaga marwah dan martabat organisasi, yang tidak mungkin dibeli dengan uang dan jabatan duniawi. Saya yakin bahwa seluruh peserta Muktamar pasti bisa menjaga amanah itu.

* Dimuat dalam Majalah MATAN Edisi 47, Juni 2010.

Kamis, 03 Juni 2010

Muhammadiyah Gelar Forum Perdamaian Dunia


Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Cheng Ho Multi Cultural Trust Malaysia akan menyelenggarakan Forum Perdamaian Dunia (Wolrd Peace Forum/WPF) ketiga di Yogyakarta tanggal 30 Juni sampai 2 Juli 2010.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Kamis, forum itu akan diikuti 150 peserta dari dalam dan luar negeri yang terdiri atas pemuka berbagai agama, tokoh politik, akademisi, cendikiawan, pengambil kebijakan, praktisi media dan pegiat perdamaian.

Sejumlah tokoh dunia, kata dia, untuk menjadi pembicara dalam forum tersebut termasuk diantaranya mantan Presiden Iran Mohammad Khatami, Muhammad Ahmed al-Sharif dari Libia, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum`ah, dan Ratu Noor dari Yordania.

Tokoh lain yang diundang adalah William F. Vendley dari WCRP Amerika Serikat, Mike Hardy dari British Council, Mufti Bosnia Mustafa Ceric, Hamid Barra dari Filipina dan Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu.

"Mereka semua diundang untuk duduk bersama membahas perdamaian karena perdamaian bukan hanya berkaitan dengan agama, tapi juga dengan faktor-faktor yang lain," kata Din.

Pertemuan untuk membahas perdamaian dunia kali ini, menurut Dewan Pengarah WPF Didik Junaidi Racbini, mengangkat tema Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian: Mengembangkan Strategi Kebijakan dan Jaringan Kerja.

"Ini sangat penting mengingat perdamaian sangat tergantung pada perilaku dalam sistem, sementara perilaku tergantung pada pendidikan. Perdamaian akan kacau kalau tidak ada pendidikan perdamaian yang baik," katanya.

Pertemuan yang ditujukan untuk menggali dan memperkuat gagasan tentang pendidikan perdamaian itu, kata Din, diproyeksikan menghasilkan deklarasi dan konsensus peserta serta rekomendasi bagi pemangku kepentingan terkait.

"Dan yang paling penting adalah pesan-pesan perdamaian yang akan disampaikan bersama dengan hasil pembahasan forum. Hasil WPF akan disampaikan ke berbagai organisasi internasional termasuk PBB," katanya.

Forum pembahasan perdamaian yang rencananya dibuka secara resmi oleh Ketua MPR RI Taufik Kiemas dan ditutup oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.