Salurkan Waqaf, Infaq dan Shadaqah/Sumbangan Anda untuk PEMBANGUNAN MASJID AD DA'WAH Jl.KH.Sirodj Salman RT.27 Samarinda melalui: BANK SYARIAH MANDIRI Rek. 7036237362

Selasa, 22 Juli 2008

Seharusnya Kerahmatan Menjadi Ukuran Ke- Islaman Gerakan

Arif Nur Kholis (www.muhammadiyah.or.id)
Yogyakarta- Dr. Hamim Ilyas dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah menyatakan bahwa saat ini perlu dikembangkan pemahaman bahwa seharusnya tingkat kerahmatan dan kemanfaatan sebuah gerakan atau organisasi Islam yang menjadi ukuran ke-Islaman gerakan Islam tersebut, karena menurutnya, adalah sebuah keanehan bila khalayak mengganggap derajat kesalehan seorang pengebom yang membunuh banyak orang sama dengan dengan mereka yang bekerja untuk kemanfaatan masyarakat. Menurut Hamim yang juga pengajar UIN Sunan Kalijaga dalam Seminar Nasional Pemeranan Majelis Taklim/ Pengajian dalam Menanamkan nilai-nilai multikulturalisme 12 Juli 2008 di gedung Muhammadiyah Cik ditiro tersebut, sayangnya hingga saat ini tidak banyak yang mengeksplorasi konsep wamaa arsalnaka illa rahmatan lil alamin sebagai parameter ke-Islaman sebuah gerakan. Menurut Hamim, dengan menjadi menjadi rahmat sebesar besarnya kepada alam, berarti Islam mengakui nilai-nilia Multikultural dalam ajarannya.

Hamim lebih lanjut menyatakan dalam Seminar yang diselenggarakan PP Aisyiyah dan DEPAG RI tersebut, bahwa saat ini kesadaran multikultural tidak seharusnya berhenti pada pengakuan adanya perbedaan semata, namun sudah harus menjadi sebuah kesadaran yang saling memberdayakan diantara perbedaan tersebut. Menurutnya, Muhammadiyah dalam ranah praksis sudah memasuki kesadaran tersebut, terbukti dengan fenomena Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Indonesia Timur yang sebagian besar mahasiswanya dari kalangan non- Muslim. Artinya, Muhammadiyah tidak sekedar mengakui adanya perbedaan, namun juga memberi kesempatan kepada mereka yang non-Muslim untuk berkembang dalam hidupnya melalui pendidikan. Kemauan untuk memberi kesempatan mendapat pendidikan kepada orang non Muslim inilah yang bisa disebut sebagai wujud kerahmatan Muhammadiyah kepada mereka yang berbeda agama.

Hamim menyatakan bahwa pada masa kolonial, konsep Multikultural ini berhenti pada pengakuan adanya perbedaan semata. Setelah kemerdekaan Indonesia, kesadaran multikultural sudah berkembang hingga dimasa orde lama. Namun sayang, menurutnya setelah berdirinya orde baru, kesadaran multikultural ini berubah menjadi sekedar toleransi dimana berhenti pada sekedar mengakui dan menghormati perbedaan semata, sehingga kesadaran untuk saling memberdayakan sangat kurang.

Dalam kesempatan tersebut Hamim juga menyitir Ayat 148 Al Qur’an dari Surat Al Baqoroh yang telah menjadi trade merk Muhammadiyah yaitu fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Dari ayat tersebut menurut Hamim, kesadaran multikultural bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi Muhammadiyah, karena di ayat tersebut dinyatakan bahwa masing-masing komunitas memiliki orientasi budaya yang dituju dan dalam meresponnya umat Islam diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. (arif).

Tidak ada komentar: