Rabu, 04 Juni 2008
Kaum Ateis Pun Berhak Hidup di Muka Bumi
Ahmad Syafii Maarif
Dari pemahaman terhadap Alquran, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa beriman lebih baik daripada kufur. Ujung kufur hanya satu: malapetaka di sini atau di alam nanti atau pada kedua alam itu. Tetapi, iman saja tidak cukup tanpa diikuti oleh amal saleh. Iman memberi dasar ontologis yang teramat kokoh bagi kehidupan manusia. Sedangkan, amal saleh adalah bukti dan buah nyata bahwa iman seseorang itu benar-benar autentik. Orang yang mengaku beriman, tetapi tuna-amal saleh adalah iman palsu, iman tanpa bukti empirik.
Amal saleh meliputi semua perbuatan yang dicintai Allah, fisikal maupun spiritual, material, dan immaterial. Dengan demikian, radius cakupannya sungguh luas hampir tanpa tepi. Orang yang mengira bahwa amal saleh itu hanyalah sekadar mengisi infaq di saat shalat Jumat, jelas tidak paham substansi amal saleh itu. Dengan kata lain, amal saleh dalam makna filosofis tidak lain daripada membangun peradaban yang adil dan asri untuk semua makhluk di muka bumi, tanpa kecuali, termasuk untuk mereka yang tidak beriman.
Di depan hukum negara, kedudukan orang beriman dan mereka yang tuna-iman hampir tak berbeda. Seorang beriman sama hukumannya dengan orang yang tuna-iman. Jika mereka melakukan kejahatan serupa, sama sekali tidak boleh berlaku diskriminasi. Tuna-iman barangkali sama dengan ateisme. Ateisme sebenarnya juga sebuah kepercayaan, yaitu percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Adiknya adalah agnotisisme yang percaya bahwa manusia tidak mungkin tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, seorang manusia diberi hak dan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman (lih. Misalnya Surat Yunus: 99; Albaqarah: 256; Al Isra: 107). Risiko dari pilihan bebas ini sangat logis, yaitu bahwa manusia tidak punya alasan lagi untuk menggugat Allah jika nasib malang menimpa dirinya, kapan pun dan di mana pun, di sini atau di sana, di seberang kubur.
Menurut pemahaman saya, seorang warga beriman dapat saja bertetangga dengan warga ateis, dengan syarat agar mereka saling menghormati dan sama-sama patuh kepada konstitusi dan hukum positif yang berlaku. Bahkan lebih jauh dari itu, seorang beriman dapat berguru kepada seorang ateis, begitu juga sebaliknya, asal tidak ada paksaan. Dosen bahasa Persi saya di Universitas Chicago, asal Inggris, pada suatu kesempatan pernah mengatakan: "Dalam Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (punya potensi untuk beriman), tetapi menurut saya sebaliknya, seorang manusia dilahirkan dalam keadaan ateis."
Kita dapat saja menuding dosen ini edan, tetapi itulah fakta yang terungkap. Bagaimana sebenarnya gejolak hati yang di dalam, bukan urusan kita untuk menanyakan lebih lanjut, dan tidak ada gunanya. Pergaulan saya dengan dosen ini biasa saja, jika hasil ujian saya bagus diberinya angka A, jika kurang memuaskan dikasihnya B, tetapi angka C tidak pernah saya peroleh dari dosen ateis ini. Kesan saya dalam masalah angka-angka ini tidak ada kaitannya dengan iman atau tuna-iman.
Jika di Amerika orang diberi kebebasan untuk memilih, dalam kasus ini sesungguhnya negara itulah yang melaksanakan diktum Alquran di atas. Oleh sebab itu, di sebuah negara Muslim, jika kaum ateis tidak diberi hak hidup misalnya, maka dapat dikatakan bahwa diktum Alquran di atas yang demikian terang tidak dijadikan pedoman dan acuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimana negara Pancasila? Andalah yang harus menjawabnya, bukan saya.
Dalam perkembangan pemikiran manusia, isu-isu seperti yang saya lontarkan ini, lambat atau cepat, pasti akan mengemuka. Resonansi kali ini adalah antisipasi untuk serba kemungkinan itu. Seorang beriman tidak perlu risau dengan semuanya itu. Karena, iman sebagai hasil pilihan sadar akan bertahan abadi, sementara iman sebagai buah bujukan benda atau posisi, biasanya teramat rapuh.
_
Republika, 27 Mei 2008 (www.muhammadiyah.or.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar