Salurkan Waqaf, Infaq dan Shadaqah/Sumbangan Anda untuk PEMBANGUNAN MASJID AD DA'WAH Jl.KH.Sirodj Salman RT.27 Samarinda melalui: BANK SYARIAH MANDIRI Rek. 7036237362

Rabu, 25 November 2009

Resepsi Milad Satu Abad Muhammadiyah Kutai Kartanegara




Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kutai Kartanegara, pada rabu 8 Dzulhijjah 1430 H – 25 Nopember 2009 M menyelenggarakan Acara Milad Satu Abad Muhammadiyah di Perguruan Muhammadiyah Jl.Danau Aji, Tenggarong. Acara di hadiri oleh Bapak Drs.H.Ruzni Oms selaku Assisten Kesejahteraan Rakyat dan Humas Setkab Kutai Kartanegara, Ustadz Ir. Ki Suratman selaku Ketua PW Muhammadiyah Kaltim, Amir Hady selaku Ketua Majlis Tabligh PWM Kaltim, Jajaran PDM Kutai Kartanegara, Jajaran PD Aisyiyah Kutai Kartanegara, PCM dan PCA se Kutai Kartanegara, ortom tingkat Kutai Kartanegara dan ormas, serta para undangan lainnya.

Acara terdiri dari Pembukaan, Pembacaan Kalam Ilahi, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Lagu Sang Surya, pidato iftitah Sesepuh Muhammadiyah Kukar, sambutan panitia, sambutan PDM, sambutan Pemkab, dan diakhiri dengan ceramah agama oleh Ustadz Ir.Ki Suratman.

Kegiatan iini juga menampilkan atraksi dan keterampilan dari pelajar Muhammadiyah Kukar berupa drumband/marching band, pencak silat Tapak Suci, paduan suara, orchestra angklung, dan tari-tarian.

Kamis, 19 November 2009

Muhammadiyah Hadapi Banyak Tantangan


JAKARTA -- Sepekan lagi, Muhammadiyah akan memasuki usianya yang keseratus tahun atau satu abad. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, mengatakan, Muhammadiyah memasuki usia satu abad pada 25 November 2009 mendatang atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1430 H.

''Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H. Jadi, pada 1430 H, usianya tepat satu abad. Kami sangat mensyukuri hal itu, sebab jarang ada organisasi masyarakat yang tetap bertahan hingga usia satu abad dan mampu melintasi zaman,'' kata Yunahar di Jakarta, Selasa (17/11).

Dengan bertambahnya usia Muhammadiyah, kata Yunahar, terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi pada organisasi massa Islam itu. Muhammadiyah, jelas dia, bisa semakin kuat, baik di bidang dakwah, pendidikan, maupun kesehatan.

Namun, Yunahar juga menyatakan ada kemungkinan lain yang bisa menimpa Muhammadiyah. Menurut dia, Muhammadiyah bisa mengalami pelemahan di mana secara fisik Muhammadiyah memang eksis, tetapi jati dirinya mengalami pergeseran.

Oleh karena itu, Yunahar berharap para anggota Muhammadiyah harus merespons tantangan tersebut dengan baik. ''Kita harus bertekad membawa Muhammadiyah menjadi organisasi yang lebih kuat dan maju,'' ujarnya.

Menurut Yunahar, acara peringatan satu abad usia Muhammadiyah tidak hanya difokuskan pada satu tempat. Muhammadiyah yang terdapat di setiap provinsi maupun daerah akan merayakan satu abad Muhammadiyah di tempat masing-masing dan dengan acaranya masing-masing.

Namun, Yunahar mengatakan, Muhammadiyah akan mengadakan tablig akbar di Lapangan Mandala Krida, Yogyakarta, pada 25 November 2009 mendatang. Sedangkan acara yang paling penting, yaitu Muktamar Muhammadiyah Satu Abad, dilaksanakan pada 3 hingga 8 Juli 2010.

Muktamar tersebut, ujar Yunahar, dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia mengatakan, dengan usia satu abad Muhammadiyah ini, dirinya berharap Muhammadiyah semakin maju dan kuat di berbagai bidang, termasuk dakwah, pendidikan, dan kesehatan.

Di sisi lain, Yuhanar pun berharap, Muhammadiyah semakin tangguh dan mampu melayani kepentingan umat Islam dengan lebih baik. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, Muhammadiyah yang usianya satu abad semakin menunjukkan kematangannya.

Sebab, Muhammadiyah memiliki pengalaman melintasi tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, awal kemerdekaan, dan zaman pemerintahan berbagai rezim yang berkuasa di Indonesia. ''Tentu saja kami bersyukur dengan usia yang lama ini,'' katanya.

Menurut Haedar, satu abad ini juga sebagai usia muhasabah. Artinya, Muhammadiyah harus melakukan koreksi diri untuk menuju perbaikan. Selain itu, usia satu abad juga disebut usia mujahadah. Muhammadiyah harus menyusun strategi lebih baik untuk perjuangan ke depan.

Haedar mengatakan, memasuki abad ke-2, banyak tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah. Di antaranya, umat Islam secara kuantitas besar, tapi kualitasnya kurang. Dan, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam, namun belum dikelola dengan baik. (meta, ed:ferry http://www.republika.co.id/koran/14/89996/Muhammadiyah_Hadapi_Banyak_Tantangan)

Minggu, 08 November 2009

Pengajian Bulanan di Islamic Center Kaltim



Pengajian bulanan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur di Masjid Islamic Center Kalimantan Timur, Samarinda pada 8 Nopember 2009 kali ini disampaikan oleh Ustadz Drs.H.M.Natsir Kadrie. Dalam kesempatan itu beliau memberikan tausiah tentang pentingnya bersikap jujur dalam segala sendi kehidupan ini, sebab akan memberikan kebahagiaan, tapi sebaliknya, sikap tidak jujur dan bohong akan membawa kepada kerusakan. Tidak jujur dan bohong adalah penyakit hati. Kebahagian tidak akan bisa diperoleh apabila ada penyakit hati ini.

Setelah pengajian, dilanjutkan dengan pemeriksaan tensi darah dan kadar gula darah bagi jamaah yang memerlukan, yang dilayani oleh mahasiswa STIKES MUHAMMADIYAH SAMARINDA dan Rumah Sakit AISYIYAH SAMARINDA.

download disini : REKAMAN PENGAJIAN

Senin, 26 Oktober 2009

Pengajian PWM Kaltim oleh Ust.H.Suyatman


Ustadz H.Suyatman dalam ceramahnya menyampaiikan bahwa Al Qur'an menyebutkan untuk ummat pilihan itu dalam dua istilah, yaitu khairu ummah dan ummatan wasathan. Istilah Khairu ummah seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 110, mempersyaratkan amar makruf, nahy munkar dan beriman kepada Allah. Sedang ummatan Wasathan terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 143,mempersyaratkan keadilan dan dalam Al Hadid ayat 23, mempersyaratkan tidak terlalu senang dan tidak terlalu sedih atas segala sesuatu dalam kehidupan ini.

Demikian ringkasan pengajian Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada ahad (25-10-2009) setelah sholat Maghrib menjelang sholat Isya di Musholla Sutan Mansyur Kampus STIEM Jl.Juanda, Samarinda.

Minggu, 18 Oktober 2009

Kunjungan Silaturahim PWM Kaltim ke PDM Kutai Kartanegara



Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur dalam rangka pembinaan telah mengunjungi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kutai Kartanegara di Tenggarong (18-10-2009). Acara diselenggarakan di Masjid Al Hikmah Jl.Danau Aji Tenggarong. Rombongan PWM Kaltim terdiri dari HM.Haiban (Wkl ketua), Ki Soeratman (Wkl Ketua), Amir Hady (Ketua Majlis Tabligh) dan Hj.Zulaikah Haiban (Sekretaris Umum PW Aisyiyah Kaltim).
Acara yang dihadiri oleh unsur PDM dan PDA Kab.Kutai Kartanegara ditambah PCM se Kab.Kutai Kartanegara, berlangsung selama dua jam dan diakhiri dengan sholat dzuhur berjamaah.

Selasa, 13 Oktober 2009

SILATURAHIM MUHAMMADIYAH KALTIM




Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur menyelenggarakan Silaturahim (Halal Bihalal) di Islamic Center Kaltim Jl.Slamet Riyadi, Karang Asam, Samarinda pada hari Ahad tanggal 22 Syawal 1430 H bertepatan dengan tanggal 11 Oktober 2009 M. Acara dihadiri oleh keluarga besar Muhammadiyah yang terdiri dari unsur Pimpinan Wilayah, Pimpinan daerah, Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting serta ortom. Beberapa daerah yang hadir selain PCM dan PDM Samarinda adalah PDM Balikpapan, PDM Bontang, PCM Anggana, PCM Loa Kulu, PCM Tenggarong Seberang (Kab.Kutai Kartanegara); PCM Sepaku Kab.Panajam Paser Utara.Ceramah agama disampaikan oleh Ustadz Drs.H.Syamsul Hidayat,M.Ag (Wakil Ketua Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah).

Minggu, 27 September 2009

Silaturahim Alumnus SMA Muhammadiyah 1 Samarinda




Alumnus SMA Muhammdiyah 1 Samarinda, sabtu 26 September 2009 menyelenggarakan Silaturahim di kediaman Hj.Masyitah Asgar, Jl.Wahid Hasyim,Sempaja, Samarinda. Acara dihadiri oleh beberapa guru perintis berdirinya sekolah dimaksud, seperti H.Abdul Murad AR, H.Subeman, H.Suyatman, Jaswadi, Abdurahman, H.Sudiyo, H.M.Subhan, Sarwadi, Ketua PD Muhammadiyah Samarinda H.Abdul Hadi, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Hairunnisa dan sebagian para alumnus. Pada kesempatan tersebut juga diberikan bingkisan kepada para guru dimaksud.

Sabtu, 26 September 2009

NILAI AMAL


Tulisan di bawah ini pernah dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah no.10, Desember 1958.
Mudah-mudahan ada manfaatnya.


Muhammadiyah didirikan untuk beramal
menjunjung tinggi agama dan hukum Allah,
disusun dengan organisasi dan dijalankan dengan peraturan tertentu agar dapat memimpin masyarakat dan anggota, khususnya supaya dapat beramal bersama-sama. “Katakanlah olehmu Muhammad kepada kaummu: beramallah kamu sekalian niscaya Allah serta Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan mempersaksikan amalmu itu, serta kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui alam gaib dan kesaksian maka Dia akan memberi kabar kepadamu tentang apa yang telah kamu sekalian amalkan.”
Jelaslah bahwa beramal menegakkan agama Allah menjadi suatu kewajiban yang mutlak bagi tiap orang Mukmin, dan jelas pula bahwa amal itu akan menjadi dasar kita apakah kita kelak diakhirat menjadi orang yang berbahagia atau celaka. Oleh karena itu adalah wajar dan seharusnya bahwa dasar kita beramal ialah mencari keridlaan Allah, sedang hasil dari amal itu di dunia menjadi tujuan. Manakah yang lebih penting antara dasar dan tujuan itu? Dasar mencari keridlaan Allah semata itulah yang disebut ikhlas, itulah yang dapat menolong kita diyaumil akhir dan menjadi bekal ke jannatunna;im. Adapun tujuan, ialah hasil dari amal kita itu; seumpama orang mengajar maka hasilnya ialah pandainya murid. Tegaknya agama dimasyarakat adalah merupakan hasil dari amal kita, sedang dasar kita beramal ialah mencari keridlaan Allah semata.
Di samping dasar dan tujuan dari amal kita itu, terdapat pula satu faktor lain, yaitu rupa dari amal kita. Amal kita boleh berupa kecil, atau besar, atau mungkin merupakan suatu usaha yang hebat dan megah yang menghabiskan harta berjuta-juta, tetapi mungkin pula hanya merupakan usaha kecil tetapi dikerjakan dengan ikhlas menurut kekuatan kita yang setinggi-tingginya. Hal ini terjadi bila kita sedang lemah dan kekurangan. Tetapi ini tidak berarti bahwa setiap usaha yang besar tentu tidak ikhlas. Usaha besar dilaksanakan dengan ikhlas, tentu lebih baik dari usaha yang kecil. Hanya kita keliru kalau lebih mengutamakan kebesaran usaha daripada keikhlasan.
Seorang kaya mendermakan Rp 500.000,- yaitu sepersepuluh seluruh hartanya. Di samping itu ada pula seorang miskin menderma Rp 1000,- yang merupakan seperdua dari hartanya. Kalau ditilik dari hasil yang dapat diperoleh dari uang itu, sudah tentu derma dari si kaya lebih besar manfaatnya bagi berhasilnya amal yang dibantunya itu. Tetapi bagi Allah, pahala siapakah yang lebih besar? Pengorbanan batin si miskin lebih besar dari si kaya, karena ia mengorbankan seperdua hartanya. Kalau amal diberi pahala tujuh ratus kali lipat, maka pengorbanan bathin itupun diberi pahala tujuhratus kali lipat. Allah jua yang lebih tahu akan amal pengorbanan hamba-Nya. Tetapi yang terang bagi kita manusia, ialah kedua orang itu, si kaya dan si miskin tentu akan menerima pahala yang sesuai dengan amal dan pengorbanannya (jihad). Orang yang mengalahkan kepentingan diri dan keluarganya untuk berjuang menegakkan agama dalam bentuk apa pun, niscaya amalnya itu termasuk jihad.
Di antara kita mungkin telah ada yang lebih mengutamakan kehebatan usaha daripada ke-ikhlasan. Semua usaha harus hebat dan besar baik dengan jalan apapun, asal halal dan tidak apa mengikis sedikit dari prinsip dan tujuan Persyarikatan kita. Tidak mengapa usaha kita itu kurang berjiwa agama, asal besar dan hebat; zaman sekarang tidak pada tempatnya kita berkecil-kecil bahkan hampir tak ada gunanya. Daripada berkecil-kecil baik tak berusaha dan tak beramal sama sekali.
Kemauan dan jalan pikiran semacam itu seyogyanya diperbaiki: “Marilah kita bersama-sama beramal dan berusaha dengan ikhlas mencari keridlaan Allah, dengan giat sekuat-kuat tenaga agar amal kita itu besar dan hebat. Kalau kita belum kuat mengusahakan yang besar dan hebat, baiklah kita mulai dengan berkecil-kecil meskipun tanpa bantuan siapa-siapa, dan kita usahakan dengan segala ketabahan hati agar yang kecil itu bertambah besar dan hebat”.
Mudah-mudahan Allah yang memiliki seluruh alam ini, menerima amal kita serta melimpahkan taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Amiin.l

Senin, 14 September 2009

SAFARI RAMADLAN 1430 PW 'AISYIYAH KALTIM DI PC 'AISYIYAH ANGGANA




PW ‘Aisyiyah Kalimantan Timur yang terdiri dari Ibu Hj.Suhartini (Wkl.Ketua PWA); Ibu Hj.Cholifah Ibrahim (Ketua Majlis Tabligh PWA); Ibu Hj.Norjenah Hefni (Ketua Majis Sosial PWA); dan rombongan lainnya telah mengunjungi PC ‘Aisyiyah Kec.Anggana dalam rangka Safari Ramadlan 1430 H. Kegiatan berupa silaturahim ini diselenggarakan di Gedung TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal 1 Sidomulyo pada Senin 24 Ramadhan 1430 H bertepatan dengan tanggal 14 September 2009.

Rombongan PW ‘Aisyiyah Kalimantan Timur disambut langsung oleh Ibu Mursalamah (Ketua PCA); Ibu Maria (Wkl.Ketua PCA); Ibu Lamiyem (Sekretaris PCA); Ibu Tumiyem (Bendahara PCA); Ibu Rahayu (Ketua Majlis Dikdasmen PCA); dan warga ‘Aisyiyah lainnya.

Dalam kesempatan tersebut PW ‘Aisyiyah Kaltim berkenan memberikan bingkisan lebaran, yang diterima secara simbolis oleh Ketua PC ‘Aisyiyah Anggana.

SAFARI RAMADLAN PWM KALTIM KE PCM LOA JANAN




Rombongan PW MUHAMMADIYAH KALTIM yang terdiri dari HM.Haiban dan H.Suyatman (Keduanya Wakil Ketua PWM); Abdul Azis Muslim (Ketua MPK PWM); Amir Hady (Ketua MTDK PWM); Arifin Suparman (Wkl.Ketua MTDK PWM); Agus Suwarto Edi (Anggota MTDK PWM), H.Abdul Hadi (Ketua PDM Samarinda); Suparsono (PCM Samarinda Utara) telah mengadakan safari ramadlan ke PCM Loa Janan. Rombongan disambut oleh H.Maqbul Djailani (Ketua PCM Loa Janan, Supeno (Sekretaris PCM Loa Janan) serta jamaah dan warga Muhammadiyah Loa Janan lainnya.

Acara silaturahmi diselenggarakan di Masjid Al Ikhlas, Komplek Perguruan Muhammadiyah di Desa Loa Duri Ilir, Kecamatan Loa Janan. Kegiatan berupa buka puasa bersama, sholat maghrib, makan malam, sholat Isya dan tarawih. Dan Sebelum shoilat witir, disampaikan ceramah agama oleh HM.Haiban.

Dalam ceramahnya HM.Haiban menyampaikan perlunya syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita semua. Dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya amal ibadah, walaupun kecil tapi harus dilakukan secara istiqomah dan terus menerus, maka lama-kelamaan akan menjadi banyak, sehingga di yaumil hisab nanti, timbangan amal kebaikan akan lebih berat dari dosa.

Selasa, 08 September 2009

PWM KALTIM SELENGGARAKAN BAITUL ARQOM RAMADHAN




PW Muhammadiyah Kaltim telah menyelenggarakan Baitul Arqom Ramadhan pada 14-16 Ramadhan 1430 H / 4-6 September 2009 M bertempat di Balai Diklat Kehutanan Jl.Untung Suropati, Sungai Kunjang, Samarinda. Baitul Arqom diikuti oleh Anggota PW Muhammadiyah Kaltim, Ketua & Sekretaris unsur Pembantu PW Muhammadiyah Kaltim, Ketua & Sekretaris Ortom tingkat wilayah, PD Muhammadiyah se Kaltim, dan ketua PC Muhammadiyah se Kaltim, dengan jumlah peserta 70 orang. Thema sentral Baitul Arqom Ramadhan ini yaitu “Menggembirakan Berdakwah, Membina Pribadi Islam Yang Sebenar-benarnya”. Adapun materi utama yang disampaikan antara lain: Pokok-pokok Ideologi Muhammadiyah oleh Ki Suratman (Wakil Ketua PWM Kaltim); Penyelarasan Tujuan Pribadi dengan Tuuan Muhammadiyah oleh HM.Haiban (Wakil Ketua PWM Kaltim); Menyelaraskan Misi Priobadi dengan Misi Muhammadiyah oleh H.Suyatman (Wkl.Ketua PWM Kaltim) dan H.Siswanto S (Wkl Sekretaris PWM Kaltim); Operasionalisasi Gerakan : Mengemban Misi Muhammadiyah Mewujudkan Masyarakat Silam yang Sebenar-benarnya oleh H.Agus Sukaca (Ketua PWM Kaltim). Tim Instruktur dipimpin langsung oleh H.Agus Sukaca (Ketua PWM Kaltim) sebagai Master Of Training.

Dalam sambutannya H.Agus Sukaca, Ketua PWM Kaltim menyampaikan bahwa dakwah Muhammadiyah dalam rangka pembinaan Pribadi Islam yang sebenar-benarnya, perlu dalam suasana yang gembira. Baik bagi mubalighnya maupun ummatnya. Sebab itulah arti sukses dalam ber-Muhammadiyah, yaitu seseorang yang tauhidnya murni, terbebas dari segala bentuk syirik; pemahamannya terhadap ajaran Islam selalu meningkat, karena mempunyai mekanisme pasti untuk meningkatkannya seperti kebiasaan membaca Al Qur’an, membaca buku, menghadiri pengajian-pengajian; giat berdakwah, meskipun sekedar mengajak sahabat-sahabatnya untuk mengikuti pengajian; konsisten melaksanakan ajaran Islam: taat ibadahnya, mulia akhlaknya, baik adab budi pekertinya, baik kehidupan bermu’amalatnya; sesungguhnya dialah yang sukses dalam berMuhammadiyah, meskipun dia tidak menjadi pemimpin atau menduduki jabatan apapun dalam struktur Muhammadiyah.

Langkah ini bila konsisten dilakukan akan terakumulasi menjadi langkah besar yang arah tujuannya sangat jelas: “terwujudnya pribadi Islam yang sebenar-benarnya”. Kita semua bergerak menuju itu semua. Kita duplikasikan kepada istri atau suami dan anak-anak, maka akan terwujud keluarga kita sebagai keluarga Islam yang sebenar-benarnya. Kalo semakin banyak keluarga Islam yang sebenar-benarnya, maka semakin mendekatkan pada tujuan Muhammadiyah, yaitu “terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Demikian yang disampaikan oleh H.Agus Sukaca.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Baitul Arqam Muhammadiyah Anggana




PC Muhammadiyah Anggana menyelenggarakan Pengajian Ramadhan Baitul Arqom pada tanggal 2-3 Ramadhan 1430 H bertepatan 23-24 Agustus 2009 di Komplek Masjid Mujahiddin Sidomulyo. Peserta sebanyak 30 orang terdiri dari personil Pimpinan Cabang Muhammadiyah dan Pimpinan Cabang Aisyiyah Anggana ditambah guru-guru TK Aisyiyah. Materi disampaikan oleh Tim Instruktur PW Muhammadiyah Kalimantan Timur yaitu, Visi dan Misi Muhammadiyah oleh Abdul Azis Muslim (Ketua MPK PWM Kaltim), Himpunan Putusan Tarjih oleh H.Siswanto Soenandar (Sekretaris PWM Kaltim), Peneguhan Idiologi Muhammadiyah oleh H.Ki Soeratman (Wakil Ketua PWM Kaltim), Sukses BerMuhammadiyah oleh H.Agus Sukaca (Ketua PWM Kaltim) dan Pedoman Hidup Islami oleh H.Suyatman (Wakil Ketua PWM Kaltim).

Minggu, 02 Agustus 2009

MTT Rilis Jadwal Imsakiah Ramadhan 1430 H untuk 33 Kota Seluruh Indonesia

Yogyakarta – Setelah keluarnya Maklumat PP Muhammadiyah mengenai Penetapan Awal Ramadhan 1430 H, Jum’at (31/07/2009) ahli hisab Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Oman Fathurohman SW., Drs., M.Ag. mengeluarkan Jadwal Imsakiah Ramadhan 1430 H. Dalam file yang diterima redaksi website Muhammadiyah siang ini, tercantum jadwal Imsakiah untuk 33 Ibukota Propinsi di seluruh Indonesia.

Seperti tahun –tahun sebelumnya, MTT PP Muhammadiyah selalu memberikan panduan kepada warga, simpatisan maupun khalayak umum yang memerlukan jadwal Imsakiah berisi Jadwal Shalat lima waktu beserta Jadwal Imsak. Dengan panduan yang dibuat spesifik untuk masing-masing ibukota pripinsi ini diharapkan akan memudahkan ummat dalam beribadah, selain mudah dipakai sebagai acuan dalam pembuatan jadwal Imsakiah di masing masing daerah.

Seperti juga tahun – tahun sebelumnya, versi cetak dari jadwal Imsakiah ini juga bisa didapat pada Majalah Suara Muhammadiyah.

download disini : Jadwal Imsakiyah 1430H Kota Samarinda


(arif/muhammadiyah.or.id)

Senin, 27 Juli 2009

Silaturahin dengan para sepuh Muhammadiyah Kaltim



PWM Kaltim dan PDM Samarinda pada hari sabtu 24 Juli 2009 menyelenggarakan kunjungan kepada tokoh Muhammdiyah yang sudah sepuh dalam rangka memelihara silaturahim. ROmbongan terdiri dari Bpk.Drs.H.Wahhadi,M.Sc (Wkl.Sekretaris PWM), Amir Hady (Ketua MTDK PWM), Arifin Suparman (Wkl.Ketua MTDK PWM), Drs.H.Abdul Hadi,MM (Ketua PDM), dan H.Solihin (PCM Samarinda Seberang). Yang pertama dikunjungi adalah Bapak Drs.H.Muhhadi, Ketua PDM Samarinda tahun 2000-2005 dan yang kedua adalah Bapak Mardi (91 thn), beliau sudah sangat sepuh memang, tapi ingatan masa aktif di Pandu Hizbul Wathon relatif masih kuat. Terbukti masih ingat menyebutkan Undang Undang Pandu HW yang sepuluh butir itu, dan menerangkan satu-persatu maknanya dengan sangat bersemangat kepada kami tamu-tamu beliau. Itulah hasil pendidikan Pandu Hizbul Wathon, yang harus kita lestarikan.

Undang-undang Pandu HW

Satu, HW selamanya dapat dipercaya.
Dua, HW setia dan teguh hati.
Tiga, HW siap menolong dan wajib berjasa.
Empat, HW cinta perdamaian persaudaraan.
Lima, HW sopan santun dan perwira.
Enam, HW menyayangi semua makhluk.
Tujuh, HW siap melaksanakan perintah dengan ikhlas.
Delapan, HW sabar dan bermuka manis.
Sembilan, HW hemat dan cermat.
Sepuluh, HW suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Tabligh Akbar Aisyiyah Kaltim



Pimpinan Wilayah Aisyiyah Kalimantan Timur menyelenggarakan Tabligh Akbar (25-7-2009) dalam rangka Milad ke 95 tahun Aisyiyah. Ceramah disampaikan oleh Ibu Dra.Misma Kasim,MA (Majlis Kader PP Aisyiyah). Ketahanan keluarga Pilar kemajuan Bangsa merupakan thema yang diusung dalam milad kali ini, sehingga menempatkan ketahanan keluarga sebagai syarat mutlak untuk memajukan bangsa Indonesia, maka pada lahan inilah Aisyiyah mengambil peran semaksimal mungkin, demikian penjelasan beliau. Acara yang diselenggarakan di Islamic Centre, Karang Asam Samarinda tersebut dihadiri juga oleh dr.H.Agus Sukaca,M.Kes (Ketua PW Muhammadiyah Kaltim)

Sabtu, 25 Juli 2009

Susun Tafsir Kejadian Manusia, Majelis Tarjih Undang Antropolog Ragawi

Yogyakarta – “Kami sedang menyusun Tafsir Al Baqarah yang di ayat awal membahas asal kejadian manusia, maka kami perlu belajar mengenai asal kejadian manusia menurut Antrolopoli ragawi” demikan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Prof. Syamsul Anwar, Selasa (21/07/2009) pada pidato pengantar acara Diskusi Tematik di Kantor PP Muhammadiyah Jl Cik Di Tiro Yogyakarta yang menghadirkan Prof. drg. Etty Indriyati, Ph. D. , seorang pakar Antropologi Ragawi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut Syamsul Anwar, sebelumnya MTT PP Muhammadiyah sudah menyusun Tafsir Surat Al Fatihah yang dipublikasikan secara bersambung melalui Majalah Suara Muhammadiyah.

Lebih lanjut, Syamsul Anwar mengatakan bahwa penyusunan Tafsir ini diharapkan dilakukan setelah mengetahui wawasan perkembangan ilmu antropologi ragawi terbaru. “Kita ingin wawasan baru sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan sesuai dengan antropologi ragawi terbaru” terangnya. Sementara itu, Rizal Mustasyir, anggota MTT PP Muhammadiyah yang menjadi moderator sore ini sebelum dimulai diskusi menyatakan banyak kalangan Islam yang mendebat konsep Evolusi yang banyak dipelajari dalam Antropologi Ragawi diserang oleh kalangan umat Islam dengan buku-buku Harun Yahya.

Sementara itu, drg Etty dalam paparannya menerangkan tentang berbagai data ilmiah ditemukannya fosil-fosil manusia purba dari berbagai negara di dunia, dan juga fosil dengan berbagai umur. Menurut drg Etty, dalam pandangan Antropologi Ragawi, manusia terus berevolusi menjadi bentuk terbaik. “Manusia dari dulu sampai sekarang berkembang menjadi sempurna, dulu otak menyudut, sekarang membulat “ terang Etty. “Namun kita juga masih bisa berevolusi, gigi geraham ketiga sekarang banyak yang tidak tumbuh karena emang tidak banyak berfungsi lagi karena makanan yang dimakan manusia semakin lembut. Tulang ekor juga mengalami evolusi dengan memendek karena pekerjaan manusia sekarang yang lebih banyak dilakukan dengan duduk, bukan kerja fisik seperti petani” terangnya.

Adam Manusia Pertama ?

Diskusi menjadi hangat ketika peserta yang terdiri dari anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadyah, Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah, majelis, lembaga dan ortom Pusat menanyakan berbagai klarifikasi terhadap pengetahuan yang selama ini. Diskusi yang menarik adalah pertanyaan tentang manusia pertama di dalam Al Qur’an, yaitu Nabi Adam dan manusia-manusia purba yang dipelajari drg Etty tersebut.

Etty Indriyati, lahir tahun 1963. Dokter Gigi UGM . Dahulu ada Prof. Tengku Yacob, yang telah meletakkan dasar Antropologi Ragawi di Indonesia. (Arif/www.muhammadiyah.or.id)

Selasa, 21 Juli 2009

Din : “3 Syin” Sukses Muktamar Seabad Muhammadiyah


Yogyakarta – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin menyatakan bahwa Muktamar 1 Abad Muhammadiyah diharapkan akan menjadi Muktamar Syukur, Syi’ar dan Syahadah. Dalam sambutan sebelum me-launching Logo dan Lagu Tema Muktamar serta Panel Hitung Mundur di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, Sabtu Malam (18/07/2009), Din menyatakan harapannya itu dihadapan 12 ribuan warga Muhammadiyah.

Penyelenggaraan Muktamar Satu Abad yang akan berlangsung 3-5 Juli 2010 nanti, menurut Din, diharapkan akan menjadi Muktamar kesyukuran seluruh warga Muhammadiyah karena Muhammadiyah bisa mencapai umurnya hingga satu abad.

Adapun “Syin” yang kedua adalah sebagai Muktamar Syi’ar. “Yaitu Syi’ar Muhammadiyah dan Syi’ar Islam tegasnya. Sedangkan kesuksesan yang ketiga, Muktamar Muhammadiyah sebagai Syahadah, yaitu kesaksian dimana Muhammadiyah telah berkiprah mencerahkan kehidupan bangsa Indonesia.

“Dalam Muktamar Seabad tahun depan, semoga akan menjadikan saksi bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa Muhammadiyah mampu menyinari dunia,” harap cendekiawan Muslim itu.

Setelah acara Launcing, diketengahkan Pagelaran “Langen Carito : Suminaring Surya, Cahyaning Nagari” yang dibawakan tak kurang dari 1500 kader Muhammadiyah. Din dalam sambutannya menyatakan bahwa pagelaran ini merupakan bukti kesiapan Yogyakarta sebagai tuan rumah Muktamar Seabad Muhammadiyah yang akan berlangsung 3-8 Juli 2010 mendatang.

“Kemeriahan ini merupakan bukti keseriusan dan kesiapan Yogyakarta sebagai tuan rumah. Sehingga memang tepat jika Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta, akan memasuki abad ke dua dari Yogyakarta pula,” ucap Din. Tema ‘Suminaring Surya Cahyaning Nagari’ ini diharapkan benar-benar mampu diwujudkan oleh Muhammadiyah ke depan. “Yakni mampu memberikan sinar bagi pencerahan umat, bangsa serta persyarikatan,“ terangnya.

Lagu Tema Muktamar Seabad Muhammadiyah sendiri liriknya dibuat oleh Din Syamsuddin sendiri, sedangkan arransement dibuat oleh Dwiki Darmawan. Malam itu untuk pertama kali secara resmi dinyanyikan oleh dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dipadu dengan paduan suara yang terdiri dari ‘Aisyiyah, Pelajar Muhammadiyah dan Mahasiswa Muhammadiyah. (arif, muhammadiyah.or.id)

Logo Muktamar Se Abad Muhammadiyah, Angka “1”, dan Masjid Agung Kauman


Yogyakarta – Ketua SC Muktamar Seabad Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, MSi Sabtu siang (18/07/2009) memperlihatkan logo Muktamar Seabad Muhammadiyah yang malamnya dilaunching di Stadion Mandala Krida kepada para wartawan. Dalam acara yang disetting sebagai konferensi pers tersebut dibagikan buku kecil tentang logo Muktamar bergambar angka satu dengan latar belakang Masjid Gede Kauman Yogyakarta disinari sinar kuning.

“Ini menggambarkan Muktamar Seabad Muhammadiyah dengan tema Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama’’ terang Haedar. Haedar menyatakan logo dan tema muktamar mencerminkan keinginan kuat agar organisasi dan kiprah aktivis Muhammadiyah bisa terus menyinari dunia. Seusai dengan logo organisasi bergambar matahari, Muhammadiyah ingin menyinari dunia sepanjang hayat. Kiprahnya bisa diujudkan dalam dakwah dan tajdid, serta amal usaha Muhammadiyah.

Selama perjalanan satu abad, Muhammadiyah telah menunjukkan karya nyata dengan aneka amal usaha yang membumi, merakyat seperti fasilitas pendidikan, rumah sakit dan aneka pelayanan publik. "Muhammadiyah ingin meneguhkan kiprah dakwah, inklusif, mengalir dan tidak sekedar berwacana," ujar Haedar.

Pada muktamar sekaligus ulang tahun ke-100 tahun 2010 itu, berbagai hal bakal dikaji dan menjadi program konkret untuk penyelesaian persoalan-persoalan masyarakat. (arif.www.muhammadiyah.or.id)

ADiTV Resmi Dilauncing, “Yang Baru & Mencerahkan Hati”


Yogyakarta – Perhelatan launcing Muktamar Seabad Muhammadiyah, Sabtu malam (18/07/2009) yang lalu juga ditandai dengan launcing Stasiun Televisi Muhammadiyah pertama “ADiTV”. Ketua PWM DI Yogyakarta, Dr. Agung Danarto menyampaikan bahwa ADiTV telah mengantongi ijin siar.

Dalam sambutannya, Sri Sultan Hamengku Buwono mengharapkan Adi TV mampu menjadi pelengkap media dakwah Muhammadiyah dan menjadi salah satu kekutaan televisi swasta baru di Yogyakarta . “Saya yakin Muhammadiyah bisa lebih maju khususnya dalam beberapa bidang amal usahanya, ” katanya.

ADiTV mengudara pada Channel 44 UHF, malam itu juga siaran perdana yang dinikmati oleh sebagian warga kota Yogyakarta yang menyiarkan acara launching Muktamar dan Pagelaran Langen Carito “Suminaring Surya, Cahyaning Nagari”. (arif, www.muhammadiyah.or.id)

Rabu, 15 Juli 2009

Jutaan Muslim Dibantai Bagaikan Buih Di Laut….


Rasulullah SAW pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir bersatu untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; …. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Pada zaman Nabi dan kejayaan Islam kita bisa saksikan bagaimana 7.000 pasukan Muslim di bawah pimpinan Khalid bin Walid sanggup menahan 200 ribu tentara Romawi di perang Mu’tah. Kemudian 30 ribu pasukan yang dipimpin Rasulullah di kota Tabuk menggentarkan kerajaan Romawi sehingga mereka tidak berani berperang melawan Nabi. Bahkan tentara Thariq bin Ziad yang jumlahnya hanya 7.000 pasukan berhasil mengalahkan 100 ribu tentara kerajaan Spanyol dan menguasai Spanyol selama 7 abad.
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau SAW dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Sekarang yang terjadi sebaliknya. Tentara-tentara kafir membantai ummat Islam di mana-mana. AS membantai sekitar sejuta Muslim di Iraq dan Afghanistan. Israel membantai jutaan Muslim di Palestina selama puluhan tahun. India membantai Muslim di Kashmir. Cina membantai Muslim Uighur di Xin Jiang. Rusia membantai Muslim di Chechnya. Burma membantai Muslim Rohingya. Thailand membantai Muslim di Pattani, dan masih banyak lagi.
Hebatnya lagi, AS mendapat ribuan trilyun rupiah untuk membuat senjatanya dari hasil kekayaan alam negara-negara Islam seperti Indonesia. Menurut PENA, sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun hasil SDA Indonesia dinikmati asing terutama AS. 6 dari 10 perusahaan terkaya versi Forbes 500 dengan total pendapatan Rp 17 ribu trilyun adalah perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia.
Anehnya lagi, ada beberapa aktivis “Islam” yang turut membantu perusahaan-perusahaan AS sehingga leluasa merampas kekayaan alam Indonesia sehingga AS kaya raya sementara mayoritas rakyat Indonesia miskin. Mereka ridho mendapat Rp 10-20 milyar/tahun sementara ribuan trilyun rupiah mengalir ke musuh Islam yang membantai saudara-saudara Muslim kita di tempat lain. Harusnya kita berusaha agar uang Rp 2.000 trilyun lebih dari kekayaan alam Indonesia bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Mereka diam terhadap pencurian kekayaan alam Indonesia. Padahal seharusnya kita melawan kemungkaran itu dengan tangan, lisan, atau minimal dengan hati. Jika tidak, maka musibah akan menimpa negeri kita.
Maraknya perampokan, penculikan, korupsi, bunuh diri karena kemiskinan, dan sebagainya tak lepas dari faktor ekonomi karena kekayaan alam kita diambil asing sehingga mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Jika kita teliti sunnah Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad tidak pernah membantu musuh-musuh Islam dengan menyumbangkan kekayaan/pasar ummat Islam kepada orang-orang kafir seperti kaum kafir Mekkah, Romawi, Persia, dan sebagainya. Padahal zaman Nabi ada sumur air, perkebunan kurma, dan sebagainya. Ayat di bawah larangan kaum musyrik masuk ke Mekkah sehingga tidak bisa menguasai perekonomian Mekkah:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [At Taubah:28]
Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW justru memblokade dan menyerang setiap khafilah dagang kaum kafir Mekkah yang hendak menuju ke Syam sehingga mereka akhirnya secara ekonomi lemah dan tak mampu membiayai pasukan perang mereka.
Jabir bin Abdullah ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengutus kami dan mengangkat Abu Ubaidah ra. sebagai pemimpin untuk mencegat kafilah dagang Quraisy... (Shahih Muslim No.3576)
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela...” [Al Maa-idah:54]
Dari hadits dan ayat Al Qur’an di atas, jelaslah bahwa untuk mengalahkan musuh-musuh Islam yang terbukti membantai ummat Islam di Iraq, Afghanistan, dan sebagainya serta berusaha kuat menghalangi penegakkan ajaran Islam, ummat Islam juga harus menyerang mereka dengan berbagai cara termasuk lewat ekonomi.
Tidak bisa kita berdemo di depan Kedubes AS, tapi pada saat yang sama kita membantu AS untuk mendapatkan ribuan trilyun rupiah dari kekayaan alam Indonesia sehingga AS akhirnya bisa membuat ribuan tank dan pesawat tempur tiap tahun untuk menyerang Islam.
Perang Iraq yang berjalan lebih dari 8 tahun menelan biaya US$ 694 milyar (Rp 7.000 Trilyun). Tapi karena anggaran perang AS US$ 655 milyar/tahun, maka AS bukan hanya mampu membiayai perang di Iraq, bahkan juga di Afghanistan.
Seandainya AS tidak dapat sumbangan uang dari hasil kekayaan negara Islam, sehingga anggaran militernya seperti Indonesia yang cuma Rp 36 trilyun/tahun, niscaya AS tidak akan mampu menyerang negara-negara Islam.
Di dalam hukum, jika ada seorang pembunuh yang membunuh orang dengan senjata api, maka orang yang memberi uang untuk membeli senjata api itu sama salahnya dengan si pembunuh. Jangankan menyumbang pembunuh, menerima/menadah hasil kejahatan saja adalah tindak kriminal.
Dalam Islam, harta yang berasal dari pencurian itu haram dan meski disedekahkan tetap berdosa. Bahkan Nabi berkata bahwa orang yang makan dari sumber yang haram doanya tidak akan diterima dan di akhirat makanannya akan jadi batubara dari api neraka.
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Mumtahanah:9]
Bagaimana mungkin sebagian ummat Islam termasuk aktivis Islam hanya karena mendapat sedikit uang receh kemudian membantu musuh Allah yang telah membantai jutaan ummat Islam dan membuat jutaan Muslim lainnya terusir dari negerinya?
Sebagai Muslim, kita harus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Kita tidak bisa berbuat baik hanya untuk diri kita sendiri. Tapi kita juga harus menyuruh orang lain berbuat kebaikan dan menolak kemungkaran.
Sebagai contoh jika kita di kapal, tidak cukup kita berbuat baik untuk diri kita. Jika ada orang lain berbuat mungkar, misalnya membolongi kapal, jika kita tidak mencegah kemungkarannya, kita semua akan tenggelam.
Hendaklah kamu beramar ma'ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo'a dan tidak dikabulkan (do'a mereka). (HR. Abu Zar)
Wahai segenap manusia, menyerulah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang mungkar sebelum kamu berdo'a kepada Allah dan tidak dikabulkan serta sebelum kamu memohon ampunan dan tidak diampuni. Amar ma'ruf tidak mendekatkan ajal. Sesungguhnya para robi Yahudi dan rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, dilaknat oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka. Mereka juga ditimpa bencana dan malapetaka. (HR. Ath-Thabrani)
Barangsiapa melihat suatu kemungkaran hendalah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah. (HR. Muslim)
Oleh karena itu kita semua harus melawan kemungkaran semampu kita seperti pencurian kekayaan alam Indonesia serta sistem ekonomi Neoliberalisme yang merupakan alat konglomerat Yahudi untuk menguasai dunia.
Jika iman anda tidak lemah, sebarluaskan informasi ini ke teman-teman dan saudara anda sebagai bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar.
http://kabarislam.wordpress.com

Referensi:
“Qaulul Mubin fi Jama’atil Muslimin” karangan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, diambil dari situs www.assunnah.or.id]

13 Orang Afghanistan Tewas Setiap Hari Karena Serangan AS
Kematian bukan sesuatu yang aneh dan mahal di Afghanistan. Di negara itu, rakyat sipil Afghanistan yang beragama Islam betapa mudahnya menjadi sasaran tembak.
Perempuan, laki-laki tua, dan anak-anak, tidak pandang bulu. Jika terlihat berkerumun, dan terlihat oleh pesawat jet tempur AS di udara, maka dipastikan akan segera dibombardir. Dalih AS selalu sama: memburu para pemberontak Taliban, dan itulah yang dijadikan argumen mereka kepada dunia internasional.
Selama lima bulan belakangan ini, presiden AS Barack Obama tengah melancarkan kampanye “perang sehat” di Afghanistan. Tim yang mendukung Obama sebagian besar adalah mereka yang bekerja di bahwa rejim George W. Bush.
Sebuah data yang mengiriskan datang dari The Afghan Independent Human Rights Commission (AIHRC). Selama tahun 2008 kemarin, tidak kurang dari 5000 rakyat Afghanistan tewas karena serangan pasukan AS. Jika dirata-ratakan, maka satu bulannya tercatat sebanyak 416 orang tewas, dan satu harinya 13 orang rakyat sipil Afghanistan harus dikubur.
Pada tahun 2001, AS mengahabisi sekitar 32.000 orang Afghanistan (Project on Defense Alternatives), sedangkan pada tahun 2002 mencapai 20.000( The Guardian), tahun 2003 korban meninggal 23.600 (University of New Hampshire), tahun 2005 mencapai 408 saja, tahun 2005 "hanya" sebesar 4000 orang (AP), tahun 2007 mencapai 1633 (Human Right Watch), dan 2008 mencapai 5000 orang.
Jika dijumlahkan total rakyat sipil Afghanistan yang meninggal karena operasi militer AS selama delapan tahun belakangan ini adalah 87. 141 orang. Data-data ini yang berhasil direkam oleh beberapa media dan institusi dan tingkat keakuratannya mungkin tidaklah cukup tepat.
Baca selengkapnya di:
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/13-orang-afghanistan-tewas-setiap-hari-karena-serangan-as.htm

Anggaran AS untuk Perang Iraq Lampaui Perang Vietnam

Departemen Pertahanan AS (Pentagon), sebagaimana dilaporkan situs Antiwar mengutip data statistik Pentagon, jika Kongres meratifikasi bujet terbaru keuangan perang Iraq, maka perang ini menelan biaya sebesar 694 milyar dolar AS, bujet terbesar kedua dalam sejarah AS pasca perang dunia kedua.

Berdasarkan laporan ini, jika Kongres meratifikasi bujet yang diusulkan Obama, maka anggaran perang akan bertambah 87 milyar dolar. Dengan demikian, berdasarkan laporan kantor penelitian dan riset Kongres yang disempurnakan tahun lalu, anggaran perang Iraq sebesar 694 milyar dolar akan menjadi tanggungan para pembayar pajak AS. Padahal anggaran perang Vietnam sebesar 686 milyar dolar AS dan bujet perang dunia kedua sebesar 4,1 triliun dolar AS.

Berdasarkan laporan ini, pada tahun 2008, AS mengeluarkan 34 milyar dolar AS untuk membiayai perang Afghanistan. Terkait hal ini, pemerintah Obama berupaya untuk mengirimkan pasukan bantuan ke Afghanistan dan mengeluarkan 47 milyar dolar AS. (hidayatullah.com)
(http://hizbut-tahrir.or.id/2009/04/15/anggaran-as-untuk-perang-iraq-lampaui-perang-vietnam/)
(http://kabarislam.wordpress.com/)

Minggu, 21 Juni 2009

Istighfar

Hasan al-Basri adalah ulama besar. Beliau tabiin (generasi sesudah sahabat) yang luas ilmunya. Bahkan Wasil bin Atha’, tokoh Mu’tazilah, mengaku dirinya murid Hasan. Suatu hari seseorang datang kepada beliau, mengeluhkan musim paceklik yang panjang dan penghasilannya menyusut. “Minta ampunlah ( istighfar) kepada Allah agar masa paceklik itu segera berlalu,” kata Hasan memberi nasehat.
Datang lagi seseorang mengadukan keadaan dirinya kepada Hasan. “ Guru, saya ingin punya keturunan. Doakanlah kepada Tuhan agar aku dikaruniai anak,” pintanya. Hasan menjawab: “Istighfarlah kepada Allah agar kamu dikaruniai anak.”
Datang lagi orang ketiga pada Hasan. Orang ini mengeluh tentang tanamannya yang tidak kunjung berbuah. Hasan lalu berkata: “Mohon ampunlah kepada Allah agar tanamanmu cepat berbuah.” Para murid yang mendengar jawaban gurunya heran. Tiga pertanyaan berbeda dijawab dengan jawaban yang sama: Istighfar atau minta ampun. Tapi diperlukan keberanian bagi seorang murid menegur gurunya, apalagi guru sekelas Hasan al-Basri.
Salah seorang memberanikan diri. “Wahai guru kami. Ada tiga orang berbeda datang kepada guru dengan keluhan berbeda. Tetapi mengapa guru memberi jawaban yang sama atas tiga keluhan berbeda?” tanya murid itu. Hasan dengan senyum ramah mengatakan: “Jawabanku itu bukan atas kemauanku sendiri melainkan berdasarkan firman Allah.” Hasan lalu membacakan surat Nuh ayat 10-13: “Maka aku katakan: mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit untukmu. Dia akan memberimu banyak harta dan anak-anak dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan (mengadakan pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak meletakkan harapan kepada Allah.”
Cara ulama besar Hasan al-Basri menjawab keluhan umatnya sungguh menarik. Ia memfokuskan pada satu kata kunci yaitu istighfar. Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat ini merupakan bukti bahwa beristighfar dan bertaubat akan menambah rezeki dan keturunan serta hujan turun membasahi bumi yang gersang. Hamka dalam tafsir Al-Azhar memberi komentar tentang ayat ini bahwa ampunan Tuhan adalah cahaya hidup. Jika Tuhan memberi ampunan, segala pekerjaan menjadi mudah, dada pun lapang dan hidup terang benderang.
Zaman kita ini adalah sebuah zaman yang padat dengan keluhan dan amat sedikit beristighfar. Suka mencari kambing hitam tetapi enggan evaluasi diri. Suka menuding-nuding orang tetapi enggan menerima koreksi. Suka tergesa-gesa dikejar waktu, sehingga tak sempat berhenti sejenak untuk merenung. Bertanya, apa yang aku cari dalam hidup ini?
Ketika ada puluhan ribu calon legislatif yang kecewa karena gagal meraih kursi, saya teringat nasehat Hasan al-Basri ini. Ketika angka pengangguran terus merambat naik, saya teringat pesan beliau. Kita tidak tahu apakah kita sempat beristighfar, merenungi kesalahan diri, mengakui dosa-dosa kita pribadi maupun dosa kolektif ketika gagal mencapai keinginan?
Tetapi istighfar bukanlah mantera yang sekali ucap bisa menyulap keinginan menjadi kenyataan. Istighfar adalah kesadaran bahwa telah terjadi kesalahan langkah, kesalahan strategi bahkan mungkin kesalahan niat sejak awal. Istighfar adalah pintu taubat. Ketika seorang caleg gagal meraih kursi, maka istighfar berarti juga melakukan evaluasi dengan penuh kerendahan hati.
Ketika pimpinan persyarikatan mengeluhkan tentang Muhamamdiyah yang banyak rintangan di daerahnya, pimpinan itu harus istighfar, menemukan kesalahannya dan bertaubat dalam arti tekad mengubah langkahnya, cara dan pendekatan dakwahnya. Istighfar adalah kesediaan untuk berubah. Misalnya dari pendekatan fiqih berubah pendekatan kesejahteraan dan ekonomi sehingga ‘penolakan’ bisa berkurang secara signifikan. Tentu ketulusan nawaitu tetap menjadi kunci karena niat itu sumber motivasi dan militansi.
Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah harus tetap berpegang pada jati dirinya yaitu kembali pada al-Quran dan tradisi Nabi, antara lain keseimbangan antara zikir dan fikir, doa dan usaha. Jangan ada orang Muhammadiyah yang hanya getol berikhtiar, tetapi mengabaikan zikir atau istighfar. Dalam al-Quran beberapa ayat menyerukan agar kita beristighfar pada ujung malam. Sebaliknya jangan hanya zikir merenungi nasib tanpa usaha maksimal. Yang terjelek dan tidak boleh terjadi pada orang Muhammadiyah adalah lemah dalam zikir dan. Ini tipe manusia benalu.
oleh : MuhKholidAS
Pengarang : Nur Cholis Huda
Diterbitkan di: Juni 21, 2009

Dialog IMAJINER KYAI DAHLAN & KI HAJAR

Alkisah di akhirat, bertemulah KH. Ahmad Dahlan dengan temannya, Ki Hajar Dewantara, sesama begawan pendidikan. Keduanya terlibat pembicaraan mengenai kondisi pendidikan di negara mereka dulu, Indonesia.
“Assalamu’alaikum, Ki. Apa kabar?,” Kyai Dahlan menyapa Ki Hajar. “Wa’alaikum salam. Baik Kyai,” jawab Ki Hajar. “Bagaimana kondisi pendidikan di negeri kita sekarang, Ki?,” tanya kyai Dahlan.
“Lho, kita kan sama-sama bisa melihat dari alam akhirat ini, Kyai. Orang-orang di negara kita memang berhasil membangun lembaga pendidikan yang besar-besar gedungnya, sekolah ada dimana-mana, bahkan saya dengar berita dari beberapa orang yang baru meninggal, di sana pendidikan mulai di gratiskan,” jawab Ki Hajar.
“Kan itu perkembangan positif, Ki?” tanya Kyai Dahlan.
“Memang, tetapi beberapa dari mereka menganut paradigma yang mulai melenceng. Pendidikan tidak lebih dari proses mendapat kerja, bukan memahami dunia. Menuntut ilmu hanya untuk mencari uang, bukan untuk mencari kebenaran. Budaya instan merajalela. Siswa hanya diajarkan menjawab soal, bukan memahami persoalan. Dalam ujian, yang penting lolos, bukan lulus. Bahkan yang lebih memprihatinkan, guru cenderung menjadi pekerjaan, bukan panggilan kesadaran. Ikhlas tidaknya mengajar berbanding lurus dengan gaji dan tunjangan. Apalagi di sekolah milik negara, guru diincar karena itu berarti bisa dapat pensiun saat tua. Hingga untuk mendapatkannya banyak yang berlaku curang,” jawab Ki Hajar. “Bagaimana dengan perkembangan sekolah swasta yang Kyai Dahlan rintis?”
“Tidak jauh berbeda Ki. Yang membuat saya prihatin adalah mereka merasa rendah diri di hadapan sekolah milik negara. Itu kan ahistoris. Saya mendirikan sekolah swasta jauh sebelum Indonesia merdeka dan memiliki sekolah. Tetapi sekolah swasta sekarang tidak punya keberanian merumuskan sistem pendidikan mereka sendiri. Dan lagi Ki, pendidikan Agama Islam dan Kemuhammadiyahan dianggap tidak penting, jadinya moral siswa berantakan,” jawab Kyai Dahlan.
Tiba-tiba ada orang datang, rupanya dia baru meninggal. Dia tampak sedih. Kyai Dahlan dan Ki Hajar menyapa orang itu. “Ada apa gerangan ki sanak, Anda kelihatan sedih?”. Orang itu menjawab: “Semasa hidup, saya seorang guru. Saya meninggal karena dihakimi massa karena mencabuli siswi saya sendiri.”
Ada lagi yang datang, kali ini seorang remaja. Dia juga tampak sedih. Kyai Dahlan dan Ki Hajar pun menyapanya. “Ada apa nak?”. Anak muda itu menjawab, “Saya meninggal karena bunuh diri. Saya stres karena tidak lulus ujian nasional. Padahal saya sudah menyiapkan contekan dan beli jawaban dari calo.”
Kemudian ada lagi yang datang, seorang pemuda. Dia tampak sayu. Kyai Dahlan dan Ki Hajar bertanya. “Ada apa kok tidak semangat ?”. “Saya mahasiwa yang meninggal karena tawuran,” jawabnya.
Mendengar jawaban mereka, Kyai Dahlan dan Ki Hajar kaget. Lalu mereka berembuk, dan sepakat untuk kembali ke dunia, memperbaiki kondisi pendidikan di negara mereka. Mereka lalu minta kepada Allah supaya diberi nyawa lagi. Mereka bertekat meluruskan pendidikan di Indonesia, bahkan dunia. Namun belum sempat minta dihidupkan, malaikat menghentikan mereka.
Kepada Kyai Dahlan dan Ki Hajar, malaikat berkata : “Kyai Dahlan dan Ki Hajar yang saya hormati. Maaf, Anda berdua tidak bisa hidup lagi. Untuk mewujudkan keinginan itu, Anda bisa mentransformasikan pemikiran dan keinginan Anda saja kepada yang masih hidup. Insya Allah, masih ada yang bisa merasakan semangat kebenaran Anda berdua,” kata malaikat.
Dengan berlinangan air mata, keduanya mengangguk. Dan kini mereka hanya bisa berharap.
Ahmad Faizin Karimi
Pengajar SMA Muhammadiyah 1 Gresik
oleh : MuhKholidAS
Pengarang : Ahmad Faizin Karim
Diterbitkan di: Juni 21, 2009
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1907399-dialog-imajiner-kyai-dahlan-ki/

Sabtu, 06 Juni 2009

Dua pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan; Muhammadiyah Urung Menjadi Partai Politik


Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang menarik,
dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau bisa tampil meyakinkan dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu adalah Haji Agus Salim.

Haji Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muhammadiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan.
Ternyata, menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga "ambisi" menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam berdebat. Dalam sidang Hoofdbestuur, argumentasi yang disampaikan Haji Agus Salim membuat seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan, karena menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
Setelah Kyai Dahlan melihat bahwa nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan memukul mejanya keras apa tidak.

Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan kalau dijawab, sebenarnya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam?
Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya "Beranikah kamu beragama Islam?". Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, "Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu". Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.

Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H. Djindar Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu
pertanyaan.
Sedangkan pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, "Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe" (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).

Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, bisa dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru sanggup mengaplikasikan dan merealisir ajaran Alquran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al An'am. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.

Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Alquran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw.
Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi
boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin.
Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuqi,
dan pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa mamati, dan
tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil alamin,
pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa
bidzaalika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana awwalul
muslimin, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada
Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang saya terjemahkan
menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuq diartikan
ibadah.
Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya
kitabnya, nusuq bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah adalah
nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusuqi
adalah pengorbananku. Jadi, "shalatku, pengorbananku, hidup matiku,
lillahi rabbil alamin".

Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai
kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… "Sungguh, shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah". Dalam terjemah
Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang
bisa tertegun, "Hanya karena untuk Allah rabbil alamin."
Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai
R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya langsung dari Kiyai
Dahlan dengan terjemahan tafsir "itu tidak untuk selain Allah".
Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa dianggap
sekutu.
Lalu ayat tadi bermakna apa? "Shalatku, pengorbananku, hidup dan
matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta". Laa syarikalah, tidak
ada sekutu selain Allah. "Aku diperintah untuk hidup dengan model cara
yang seperti itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk
anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan
tanah airku". Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan.
Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, lalu untuk apa? "Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela
tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena kemauan
tanah air, tetapi karena Allah". Di sini lalu maknanya, "berbuat
baiklah kamu kepada orang tuamu". Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar
karena naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada orang tua,
tetapi begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah, dari kata
"wa-ahsinuu, …..birrul walidaini".
Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan "wa ana awwalul muslimin.
O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik
kita untuk hidup model seperti itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang
lain.

Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak bisa yang
namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang
tulus berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat
yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liya'buduun.
Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat
yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan
satu doktrin kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain.
Maka, semua aktivitas hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah.
Di situlah makna hakekat dari Islam.

Dari ayat ini, beliau yang memang orang alim dan orang-orang generasi
pertama, bisa menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup
menjawab.
Maaf, jika orang sudah bicara politik, hampir bisa dipastikan yang
dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama
aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal kampanye,
jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari
oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini sepertinya tidak punya
panutan, siapa politikus kita yang bisa membawa amanah Islam. Rasanya
jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir,
yang kalau mau sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau dijemput
mobil.

Bermuhammadiyah adalah berislam. Ungkapan ini memang cukup tandas.
Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah bukan main
trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan
itu, "Akan datang kepada kamu sekalian, suatu jaman dimana Alquran
tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama. Memang
banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku dan tindakannya
jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi
sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya
menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka keluar
fitnah". Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika hal
ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya sepeninggal
Rasululah.

Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di
jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Alquran yang
punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya haadzal
qur'ana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan
Alquran kepada gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu akan
menolak, tunduk, hancur lumat karena takutnya kepada Allah. Itulah
kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.

Sekarang ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari. Ratusan
karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk
menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar,
simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapatkan pembaca
Alquran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang
sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang
terisak-isak karena mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.

Tidak ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat Alquran,
kecuali tersungkurnya karena sujud tilawah itu saja. Masih mending,
kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jum'at Shubuh, Nabi
selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan
di rakaat kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir tidak ada.
Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak
apalagi diamalkan.

Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang
Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal.
Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan saat prosesi
kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis
diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau
menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal
mengundang ahli tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap
Islamnya.

Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur
hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini
sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang
merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk
perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini yang terjadi
di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat
gado-gado.
Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih primitif,
membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang ajaran Hindu,
diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima, datang Islam
juga diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima. Semuanya bergabung
menjadi satu, Pancasila.

Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam.
Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan
kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini bisa dilihat
kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang
mengantar bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada
orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika
mengantar sampai di Bandara pun menangisnya bisa sampai sesenggukan.

Memang bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji
itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji
masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu
dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam.
Lima perkara itu adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji,
itu baru pondasi. Untuk membangun Keluarga Sakinah memang harus lima
perkara itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji
berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi
keluarga sakinah.

Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah,
bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya
tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya,
pelatihannya, dan sebagainya, bukan sekarang saatnya untuk mengungkap
masalah ini.
Kita bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam. Itulah yang
dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan
pasrah dengan tatanan aturan hidup Islam. Termasuk yang dulu juga
pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis
kalimat itu, hanya mendengar sepintas, "Hidup sepanjang kemauan
Islam".

Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani
menurut kemauan Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan pula menurut
kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi menurut kemauan Islam. Ini
yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat
mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari
bermuhammadiyah itu.

Para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham
apa makna berislam itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya tahu saja.
Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma.
Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi,
tahu saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua,
warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu baru ada
jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu
khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka
orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.

Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah bisa
tahu. Sekali mendengar ceramah sudah bisa tahu. Tetapi untuk bisa
faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang
sesuatu sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab
Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah
mengucapkan salam sampai tiga kali. Sementara, banyak di anatara kita
yang malas mengucap salam diulang sampai tiga kali. Malahan mungkin
kuatir disebut sebagai orang NU, karena biasanya orang NU itu yang
mengamalkan hal ini.

Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah

Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat
mereka dalam "wa-tawashau bil haq". Ada sebutan yang cukup populer
pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah sebutan untuk
jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya
berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya
nggak mau mengalah, kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang
seperti itu disebut mubaligh cleleng.

Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah
Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan
mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau dengan
mengucap salam, "Selamat pagi, Pak!". Beliau bertanya, "Kamu siapa?"
"Saya mahasiswa Bapak", katanya. "Kembali sana, ucapkan dulu
"Assalamu'alaikum".
Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap salam dengan
"kulonuwun". Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak dijawab,
padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu. Karena
berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya bermaksud
pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof. Kahar
Muzakkir sambil berkata, "Kibir kamu ya?" "Kenapa?" tanya orang itu.
Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan orang Islam
dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada tuntunannya
mengucap salam "Assalamu'alaikum" kalau bertamu ke rumah orang koq
malah "kulonuwun". Inilah contohnya mubaligh cleleng.

Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota
saja. Kalau anda pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan
kalau masih ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Saya masih sempat
kenal orangnya, ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan. Pekerjaannya
tukang kayu. Beliau termasuk orang yang telah mendapatkan
sentuhan-sentuhan dari Kyai Ahmah Dahlan. Padahal, Pak Khamdani ini
tidak termasuk orang terpelajar. Sekolahnya paling hanya sampai
sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak termasuk orang kaya. Tetapi
karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan, merasa mau bertabligh nggak
bisa, mau berdakwah pakai uang juga nggak ada uangnya, lalu beliau
mengumpulkan tukang kayu, menyumbang untuk Muhammadiyah lewat
keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang dibangun SR Muhammadiyah
I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini adalah SD Muhammadiyah
yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat orang-orang yang punya
ghiroh, diantaranya mujahid kayu tersebut.
Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah, disumbangkannya
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan
kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih
minim, ada mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil 'alamin
dibaca rabbil ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa haula walaa
quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk bertabligh.

Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara
membacanya belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian
ini sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU. Membaca
Quran saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai pasti dijawab,
"Dari pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani bertabligh. Inilah
wajah Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah
bertabligh.

Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah.
Dosennya Pak Amien Rais di Fisipol UGM, Pak Usman Tampubolon, orang
Batak, beliau aktif di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), tinggal di
Jogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek tentang
adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa.
Promotornya tidak mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman
Tampubolon untuk merubahnya. Pak Usman tidak mau merubah, "Wong saya
sendiri yang menyusun koq disuruh merubah", kata Pak Usman.
Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya,
dalam sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur Tengah, dengan
tampilnya Syeh Muhammad Abdul Wahab, yang karya paling terkenalnya
kitab tauhid, "Al Ushulust-tsalasah",30) ketika ajarannya diambil,
mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan di tanah
Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul Wahab diratakan. Maka,
yang namanya Syeh Abdul Wahab ini, di Indonesia juga sangat ditakuti.
Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol dengan perang Paderinya.

Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan
menjadi pegawai Keraton, koq bisa tenang, rukun dan asyik duduk
bersama orang Kraton yang masih mempercayai nenek moyang dengan agama
jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini
membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan
mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat, maka Muhammadiyah hanya ada
di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, koq Kyai Haji Ahmad
Dahlan tenang–tenang saja, mengapa tidak terjadi benturan.

Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang
masih melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama soal
kematian. Memang Muhammadiyah telah membersihkan hal-hal bid'ah.
Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi.
Dihidupkan lagi tradisi lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali yang lalu
membicarakan topik Dakwah Kultural. Orang belum tahu persis koq sudah
melangkah lebih lanjut.
Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup
anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan bangsa ini,
selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak
sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan waktu yang
singkat.

Ini merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu sedemikian
besarnya. Mereka punya seragam khusus dan punya pos-pos ribuan
banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu tahun 1999 kemarin, kekuatan
mereka seperti itu. Itulah barangkali yang melatar-belakangi Sidang
Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir
Muhammadiyah tidak menyadari tentang adanya budaya-budaya itu.
Masalah bagai-mana menari yang Islami, Muhammadiyah tidak bisa
menjawab.
Kalau saya ada jawaban lain kenapa perlu ada dakwah kultural. Saya
lebih cenderung memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad Dahlan waktu
itu memakai dakwah kultural? Tidak. Yang memakai itu kan Walisongo,
Sunan Kalijogo. Lalu, apa rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?

Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang lain,
adalah adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup
menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat oleh ummat.
Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua presiden,
terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto
adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di
bidang pendidikan.

Ketika berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di sebuah panti
asuhan yang gedungnya berlantai dua, sangat megah, saya diberitahu
bahwa yang membangun gedung itu adalah seorang pensiunan dari Jakarta.
Ia datang ke Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia mengakui
dulunya lulusan SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah lama
menjadi pegawai di Jakarta kemudian ia ingat kembali Muhammadiyah.
Sementara, kadang-kadang, kita kalau sudah jadi pegawai tidak kober
lagi mikir Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus. Apalagi kita
ini termasuk sebagai pewaris falsafah "sendu" (seneng duit), merasa
senang dengan hal itu. Harus secara jujur kita akui bahwa kita memang
senang terhadap duit.
Nah, pensiunan dari Jakarta tadi punya tabungan dan ingin
menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua tukang yang bekerja
membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh bagaimana
pengaruh pendidikan Muhammadiyah.

Kita juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah kita yang
memang belum bisa dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau kita lihat ke
sekretariat PP Muham-madiyah, anggota Muhammadiyah sekarang sudah
mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8. Artinya,
belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan yang sudah
meninggal. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari
Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah yang perlu dibenahi.

Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi

Pemahaman KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat 104 telah
melahirkan pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana
ulama pendahulu kita itu bisa menangkap isyarat-isyarat Alquran,
sehingga memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab, sebelum itu,
organisasi yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI yang muncul
sebelumnya karena kebutuhan yang mendesak. SDI muncul untuk
mengim-bangi perdagangan Cina. Sedang kelahiran SI tidak lepas dari
pengaruh politik. Kita tahu, di dunia politik ada dua rayuan, rayuan
surga dan rayuan kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada cuma surga
saja yang menjadi harapannya.

Berorganisasi, oleh beliau-beliau ini, walaupun saat itu belum ada
Majelis Tabligh, tapi di benak para pemimpin kita itu sudah jauh
sekali yang dijangkau untuk nanti bagaimana rencana ke depannya.
Mengapa begitu yakin? Sebab tidak mungkin tegaknya Islam, izzul Islam
wal muslimin, itu ditangani oleh orang per-orang. Saya tidak tahu
persis, penduduk Indonesia saat itu berapa jumlahnya. Saya hanya ingat
ada sekitar 77 jutaan penduduk Indonesia di tahun 1960-an. Jadi, pada
jaman Kyai Dahlan itu kira-kira ada 30 jutaan penduduk Indonesia, pada
saat lahirnya Muhammadiyah.

Yang dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR, hanya
sekitar 700 ribu. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan bahwa saat
Haji Wada' jumlah jama'ah yang hadir ada 140 ribu. Jika setiap orang
punya lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700 ribu.
Dibulatkan lagi, misalnya, menjadi 1 juta. Ummat yang sekitar 700
ribu sampai 1 juta itu bisa ditangani karena ada figur Nabi Muhammad
SAW, ada Abu Bakar, ada Umar bin Khattab, dan lain-lainya. Dan yang
kita kenal lainnya, ada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin bakal masuk
surga sebelum Rasullah meninggal.

Sekarang ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang seperti itu.
Kalau toh ada hanya segelintir. Katakanlah, kalau saya membuat contoh
tentang uswah hasanah, jujur saja, siapa orang Jogja yang layak
menjadi uswah hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum lagi di
Temanggung, siapa yang layak menjadi uswatun hasanah. Padahal
Muhammadiyah telah berkembang sedemikian luas. Ini baru dari sisi soal
uswah hasanah saja.

Ketika Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan Pekalongan,
ada audien/peserta pengajian itu, yang memper-hatikan betul terhadap
Kyai Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang alim dan orang saleh. Ia
memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diawasinya
ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi Kyai Dahlan
waktu itu mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang didirikan di
Jogjakarta. Hanya dengan melihat wajah, orang saleh ini bisa
menentukan apakah seseorang itu saleh, jujur, dan sebagainya. Ia tahu
hal itu tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa tidak puas
dengan hanya melihat penampilan Kyai Dahlan waktu itu.
Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan pulang ke Jogja orang tadi mengikuti.
Sampai di Jogja ia bertanya kepada orang, di masjid mana Kyai Dahlan
sholat. Ia tidak bertanya tentang apa, tapi cukup bertanya tentang
sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setengah jam sebelum adzan shubuh,
orang itu sudah datang ke masjid, maksudnya mau menunggu jam berapa
Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia tertegun karena orang yang
ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu komentarnya, "Pantas kalau
Kyai Haji Ahmad Dahlan mengaku sebagai pemimpin Muhammadiyah". Orang
itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan Mansur muda. Beliau adalah
saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh terkenal di Pekalongan,
yang berasal dari negeri Minangkabau.

Lain lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya beliau adalah
orang yang paling zuhud di Muhammadiyah, satu-satunya ketua PP
Muhammadiyah yang tidak punya rumah sendiri. Tempat tinggalnya di
Jalan Cik di Tiro adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Ketika
beliau meninggal, istrinya kemudian ikut salah seorang anaknya,
Sukriyanto AR. Sekarang, bekas rumah beliau itu telah dipugar dan
dibangun gedung berlantai tiga yang menjadi kantor PP Muhammadiyah
Jogjakarta yang baru, yang juga baru diresmikan pada 1 Muharram yang
lalu.
Namun bukan ini persoalannya. Para pengurus PP Muhammadiyah kalau
sakit biasanya memang dilayani oleh Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti
RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta. Lukman Harun ketika sakit,
sebelum meninggal, juga dilayani oleh Muhammadiyah di RSI Jakarta.

Ketika Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit, tidak ada
satupun orang Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga tidak ingin
diberi fasilitas. Tapi, sebuah kelompok pengajian kecil yang tidak
jauh dari kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan mau operasi.
Mereka tahu betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang pensiunan
pegawai Penerangan Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya hanya 80
ribu, bukan ratusan ribu. Kelompok pengajian tadi lalu menyebarkan
warta, dan terkumpullah uang sebanyak 600 ribu yang kemudian
diserahkan kepada keluarga Pak AR untuk biaya berobat.
Namun, setelah Pak AR sembuh, pengurus kelompok pengajian itu diundang
Pak AR. Pak AR mengucapkan terima kasih atas bantuan tersebut,
kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas, pengurus tadi
membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu. Pengurus
kelompok pengajian itu kaget dan berkata bahwa mereka telah ihlas. Pak
AR menjelaskan bahwa operasinya hanya menghabiskan biaya 300 ribu,
maka sisanya dikembalikan.

Coba, apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang ada malah
sebaliknya, ada mubaligh yang sampai menawar harga untuk sekali
ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi, berdampingan dengan
seseorang yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang penceramah
dari Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket pesawatnya,
dan ini harga mati. Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di Muhammadiyah
tidak boleh seperti itu.

Yang kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya lebih dari
200 juta. Jika pada masa Kyai Haji Ahmad Dahlan itu kira-kira ada 30
juta ummat yang juga sudah memerlukan kekuatan untuk berdakwah, dan
kekuatan itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya Zainuddin MZ,
yang dikenal sebagai da'i sejuta ummat, beliau tidak sanggup membangun
ummat. Di Jogja juga ada mubaligh terkenal. Tapi, paling-paling beliau
juga cuma bisa dikenal. Tidak akan bisa membangun ummat, karena untuk
membangun ummat diperlukan kekuatan massa, dan kita harus mau serius.

Saya cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan
Muhammadiyah di sini. Saya buat global saja, baik UMS, UMM, UMY,
UHAMKA dan sekitar 130 PTM, ditambah puluhan ribu sekolah
Muham-madiyah, 90% siswa atau mahasiswanya adalah bukan putra
Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika saat itu ada training untuk
mahasiswa baru, rata–rata sholatnya memakai usholli. Memang ada
sedikit yang berasal dari IPM/IRM.
Gugatan saya, baik yang di sekolah maupun yang di PTM, kalau mereka
masuk di lembaga pendidikan Muhammadiyah, masuk dengan usholli dan
keluar tetap usholli, maka Muhammadiyah sudah gagal dalam
menyelenggarakan pendidikannya. Sehebat apapun sekolah Muhammadiyah,
koq setelah sholat malah yasinan.
Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal itu, setiap
tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari sebanyak
itu, berapa yang kemudian menjadi mujahid dakwah?

Saya pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan Ketua
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah), ketika menjelang Muktamar di
Jakarta tentang hal ini. Siapa di antara alumni perguruan Muhammadiyah
itu, yang tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka, kurang lebih
lima tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu kita yang
membuatnya. Juga yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu, paling
tidak selama tiga tahun mereka kita didik.

PKI, waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka mampu
melahirkan kader-kader yang militan. Sedangkan di Muhammadiyah, siapa
di antara kita yang pantas di sebut sebagai kader militan. Ini perlu
menjadi PR kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara serius.
Jangan-jangan di Muhammadiyah ini malah cuma sekedar mencari
penghidupan saja. Apakah kalimat semboyan "Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah" masih relevan?
Padahal, waktu itu semboyan ini sangat terkenal dan biasa ditulis di
majalah dan di dinding-dinding gedung amal usaha Muhammadiyah.
Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini, dan bagaimana reaksi kita atas
ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.

Namun, alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah saat ini
sudah sebegitu pesat. Kita mungkin tidak tahu, yang namanya sholat Ied
di lapangan pada waktu itu belum ada di kota Jogjakarta. Sebab saat
itu sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak Sultan,
tidak boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied di
lapangan disuruh cari tempat sendiri, sehingga Muhammadiyah membeli
lapangan Asri di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah menyebar ke
mana-mana kalau sholat Ied itu diseleng-garakan di lapangan, sesuai
dengan sunnah Nabi. Memang ada 9 hadis tentang masalah ini, tapi hanya
ada satu hadis yang menyebut shalat Ied di masjid dan itu pun hadis
dhoif.
Kalau kita lihat di masjid-masjid, jika ada garis shaf yang miring
tidak sejajar dengan bangunan masjid (karena menyesuaikan arah
kiblat), itu adalah hasil dari perjuangan Kyai Dahlan. Dulu, untuk
memperjuangkan lurusnya arah kiblat ini, langgar Kyai Dahlan di Kauman
dirobohkan oleh tentara Kraton, karena Kyai Dahlan membetulkan arah
kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu adalah salah satu contoh
pengorbanan beliau.

Orang tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan. Termasuk
dalam hal qurban yang dilaksanakan di kantor-kantor,
sekolahan-sekolahan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah jasa Kyai
Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat kita lihat sudah merebak di mana-mana,
misalnya di kantor bupati menyembelih qurban seekor lembu, gubernur
juga seekor lembu, dan sebagainya. Padahal menyembelih qurban di
kantor dan sekolahan itu tidak ada nashnya. Alasanya hanya satu, yaitu
latihan. Dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang dengan itu
orang menjadi tahu Islam yang sebenarnya, melalui karya-karya Islami
Muhammadiyah tersebut.
Yang namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan orang saja.
Tapi di benak Kyai Dahlan, jadilah pengamalan dari surah itu,
panti-panti asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan pemahaman
beliau atas surat Al-Maun.

Di sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat. Tanpa ada
benturan yang berarti ia menjadi diminati oleh ummat. Cuma, sekarang
masalahnya terletak pada diri kita sendiri, karena kita ini sudah
menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pertanyaannya,
untuk apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Mau diapakan, misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang hidup, makan,
dan semuanya dicukupi Muhammadiyah, mau diapakan lagi mereka ini kalau
tidak kita jadikan kader kita.
Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang menarik,
dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau bisa tampil meyakinkan dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu adalah Haji Agus Salim.

Haji Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muhammadiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan.
Ternyata, menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga "ambisi" menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam berdebat. Dalam sidang Hoofdbestuur, argumentasi yang disampaikan Haji Agus Salim membuat seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan, karena menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
Setelah Kyai Dahlan melihat bahwa nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan memukul mejanya keras apa tidak.

Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan kalau dijawab, sebenarnya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam?
Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya "Beranikah kamu beragama Islam?". Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, "Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu". Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.

Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H. Djindar Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu
pertanyaan.
Sedangkan pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, "Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe" (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).

Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, bisa dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru sanggup mengaplikasikan dan merealisir ajaran Alquran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al An'am. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.

Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Alquran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw.
Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi
boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin.
Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuqi,
dan pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa mamati, dan
tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil alamin,
pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa
bidzaalika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana awwalul
muslimin, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada
Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang saya terjemahkan
menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuq diartikan
ibadah.
Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya
kitabnya, nusuq bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah adalah
nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusuqi
adalah pengorbananku. Jadi, "shalatku, pengorbananku, hidup matiku,
lillahi rabbil alamin".

Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai
kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… "Sungguh, shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah". Dalam terjemah
Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang
bisa tertegun, "Hanya karena untuk Allah rabbil alamin."
Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai
R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya langsung dari Kiyai
Dahlan dengan terjemahan tafsir "itu tidak untuk selain Allah".
Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa dianggap
sekutu.
Lalu ayat tadi bermakna apa? "Shalatku, pengorbananku, hidup dan
matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta". Laa syarikalah, tidak
ada sekutu selain Allah. "Aku diperintah untuk hidup dengan model cara
yang seperti itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk
anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan
tanah airku". Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan.
Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, lalu untuk apa? "Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela
tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena kemauan
tanah air, tetapi karena Allah". Di sini lalu maknanya, "berbuat
baiklah kamu kepada orang tuamu". Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar
karena naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada orang tua,
tetapi begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah, dari kata
"wa-ahsinuu, …..birrul walidaini".
Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan "wa ana awwalul muslimin.
O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik
kita untuk hidup model seperti itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang
lain.

Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak bisa yang
namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang
tulus berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat
yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liya'buduun.
Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat
yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan
satu doktrin kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain.
Maka, semua aktivitas hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah.
Di situlah makna hakekat dari Islam.

Dari ayat ini, beliau yang memang orang alim dan orang-orang generasi
pertama, bisa menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup
menjawab.
Maaf, jika orang sudah bicara politik, hampir bisa dipastikan yang
dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama
aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal kampanye,
jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari
oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini sepertinya tidak punya
panutan, siapa politikus kita yang bisa membawa amanah Islam. Rasanya
jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir,
yang kalau mau sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau dijemput
mobil.

Bermuhammadiyah adalah berislam. Ungkapan ini memang cukup tandas.
Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah bukan main
trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan
itu, "Akan datang kepada kamu sekalian, suatu jaman dimana Alquran
tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama. Memang
banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku dan tindakannya
jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi
sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya
menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka keluar
fitnah". Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika hal
ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya sepeninggal
Rasululah.

Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di
jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Alquran yang
punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya haadzal
qur'ana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan
Alquran kepada gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu akan
menolak, tunduk, hancur lumat karena takutnya kepada Allah. Itulah
kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.

Sekarang ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari. Ratusan
karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk
menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar,
simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapatkan pembaca
Alquran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang
sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang
terisak-isak karena mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.

Tidak ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat Alquran,
kecuali tersungkurnya karena sujud tilawah itu saja. Masih mending,
kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jum'at Shubuh, Nabi
selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan
di rakaat kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir tidak ada.
Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak
apalagi diamalkan.

Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang
Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal.
Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan saat prosesi
kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis
diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau
menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal
mengundang ahli tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap
Islamnya.

Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur
hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini
sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang
merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk
perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini yang terjadi
di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat
gado-gado.
Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih primitif,
membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang ajaran Hindu,
diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima, datang Islam
juga diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima. Semuanya bergabung
menjadi satu, Pancasila.

Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam.
Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan
kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini bisa dilihat
kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang
mengantar bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada
orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika
mengantar sampai di Bandara pun menangisnya bisa sampai sesenggukan.

Memang bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji
itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji
masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu
dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam.
Lima perkara itu adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji,
itu baru pondasi. Untuk membangun Keluarga Sakinah memang harus lima
perkara itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji
berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi
keluarga sakinah.

Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah,
bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya
tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya,
pelatihannya, dan sebagainya, bukan sekarang saatnya untuk mengungkap
masalah ini.
Kita bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam. Itulah yang
dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan
pasrah dengan tatanan aturan hidup Islam. Termasuk yang dulu juga
pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis
kalimat itu, hanya mendengar sepintas, "Hidup sepanjang kemauan
Islam".

Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani
menurut kemauan Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan pula menurut
kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi menurut kemauan Islam. Ini
yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat
mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari
bermuhammadiyah itu.

Para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham
apa makna berislam itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya tahu saja.
Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma.
Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi,
tahu saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua,
warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu baru ada
jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu
khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka
orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.

Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah bisa
tahu. Sekali mendengar ceramah sudah bisa tahu. Tetapi untuk bisa
faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang
sesuatu sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab
Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah
mengucapkan salam sampai tiga kali. Sementara, banyak di anatara kita
yang malas mengucap salam diulang sampai tiga kali. Malahan mungkin
kuatir disebut sebagai orang NU, karena biasanya orang NU itu yang
mengamalkan hal ini.

Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah

Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat
mereka dalam "wa-tawashau bil haq". Ada sebutan yang cukup populer
pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah sebutan untuk
jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya
berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya
nggak mau mengalah, kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang
seperti itu disebut mubaligh cleleng.

Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah
Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan
mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau dengan
mengucap salam, "Selamat pagi, Pak!". Beliau bertanya, "Kamu siapa?"
"Saya mahasiswa Bapak", katanya. "Kembali sana, ucapkan dulu
"Assalamu'alaikum".
Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap salam dengan
"kulonuwun". Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak dijawab,
padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu. Karena
berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya bermaksud
pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof. Kahar
Muzakkir sambil berkata, "Kibir kamu ya?" "Kenapa?" tanya orang itu.
Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan orang Islam
dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada tuntunannya
mengucap salam "Assalamu'alaikum" kalau bertamu ke rumah orang koq
malah "kulonuwun". Inilah contohnya mubaligh cleleng.

Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota
saja. Kalau anda pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan
kalau masih ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Saya masih sempat
kenal orangnya, ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan. Pekerjaannya
tukang kayu. Beliau termasuk orang yang telah mendapatkan
sentuhan-sentuhan dari Kyai Ahmah Dahlan. Padahal, Pak Khamdani ini
tidak termasuk orang terpelajar. Sekolahnya paling hanya sampai
sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak termasuk orang kaya. Tetapi
karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan, merasa mau bertabligh nggak
bisa, mau berdakwah pakai uang juga nggak ada uangnya, lalu beliau
mengumpulkan tukang kayu, menyumbang untuk Muhammadiyah lewat
keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang dibangun SR Muhammadiyah
I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini adalah SD Muhammadiyah
yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat orang-orang yang punya
ghiroh, diantaranya mujahid kayu tersebut.
Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah, disumbangkannya
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan
kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih
minim, ada mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil 'alamin
dibaca rabbil ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa haula walaa
quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk bertabligh.

Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara
membacanya belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian
ini sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU. Membaca
Quran saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai pasti dijawab,
"Dari pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani bertabligh. Inilah
wajah Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah
bertabligh.

Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah.
Dosennya Pak Amien Rais di Fisipol UGM, Pak Usman Tampubolon, orang
Batak, beliau aktif di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), tinggal di
Jogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek tentang
adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa.
Promotornya tidak mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman
Tampubolon untuk merubahnya. Pak Usman tidak mau merubah, "Wong saya
sendiri yang menyusun koq disuruh merubah", kata Pak Usman.
Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya,
dalam sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur Tengah, dengan
tampilnya Syeh Muhammad Abdul Wahab, yang karya paling terkenalnya
kitab tauhid, "Al Ushulust-tsalasah",30) ketika ajarannya diambil,
mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan di tanah
Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul Wahab diratakan. Maka,
yang namanya Syeh Abdul Wahab ini, di Indonesia juga sangat ditakuti.
Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol dengan perang Paderinya.

Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan
menjadi pegawai Keraton, koq bisa tenang, rukun dan asyik duduk
bersama orang Kraton yang masih mempercayai nenek moyang dengan agama
jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini
membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan
mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat, maka Muhammadiyah hanya ada
di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, koq Kyai Haji Ahmad
Dahlan tenang–tenang saja, mengapa tidak terjadi benturan.

Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang
masih melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama soal
kematian. Memang Muhammadiyah telah membersihkan hal-hal bid'ah.
Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi.
Dihidupkan lagi tradisi lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali yang lalu
membicarakan topik Dakwah Kultural. Orang belum tahu persis koq sudah
melangkah lebih lanjut.
Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup
anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan bangsa ini,
selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak
sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan waktu yang
singkat.

Ini merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu sedemikian
besarnya. Mereka punya seragam khusus dan punya pos-pos ribuan
banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu tahun 1999 kemarin, kekuatan
mereka seperti itu. Itulah barangkali yang melatar-belakangi Sidang
Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir
Muhammadiyah tidak menyadari tentang adanya budaya-budaya itu.
Masalah bagai-mana menari yang Islami, Muhammadiyah tidak bisa
menjawab.
Kalau saya ada jawaban lain kenapa perlu ada dakwah kultural. Saya
lebih cenderung memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad Dahlan waktu
itu memakai dakwah kultural? Tidak. Yang memakai itu kan Walisongo,
Sunan Kalijogo. Lalu, apa rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?

Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang lain,
adalah adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup
menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat oleh ummat.
Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua presiden,
terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto
adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di
bidang pendidikan.

Ketika berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di sebuah panti
asuhan yang gedungnya berlantai dua, sangat megah, saya diberitahu
bahwa yang membangun gedung itu adalah seorang pensiunan dari Jakarta.
Ia datang ke Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia mengakui
dulunya lulusan SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah lama
menjadi pegawai di Jakarta kemudian ia ingat kembali Muhammadiyah.
Sementara, kadang-kadang, kita kalau sudah jadi pegawai tidak kober
lagi mikir Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus. Apalagi kita
ini termasuk sebagai pewaris falsafah "sendu" (seneng duit), merasa
senang dengan hal itu. Harus secara jujur kita akui bahwa kita memang
senang terhadap duit.
Nah, pensiunan dari Jakarta tadi punya tabungan dan ingin
menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua tukang yang bekerja
membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh bagaimana
pengaruh pendidikan Muhammadiyah.

Kita juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah kita yang
memang belum bisa dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau kita lihat ke
sekretariat PP Muham-madiyah, anggota Muhammadiyah sekarang sudah
mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8. Artinya,
belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan yang sudah
meninggal. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari
Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah yang perlu dibenahi.

Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi

Pemahaman KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat 104 telah
melahirkan pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana
ulama pendahulu kita itu bisa menangkap isyarat-isyarat Alquran,
sehingga memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab, sebelum itu,
organisasi yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI yang muncul
sebelumnya karena kebutuhan yang mendesak. SDI muncul untuk
mengim-bangi perdagangan Cina. Sedang kelahiran SI tidak lepas dari
pengaruh politik. Kita tahu, di dunia politik ada dua rayuan, rayuan
surga dan rayuan kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada cuma surga
saja yang menjadi harapannya.

Berorganisasi, oleh beliau-beliau ini, walaupun saat itu belum ada
Majelis Tabligh, tapi di benak para pemimpin kita itu sudah jauh
sekali yang dijangkau untuk nanti bagaimana rencana ke depannya.
Mengapa begitu yakin? Sebab tidak mungkin tegaknya Islam, izzul Islam
wal muslimin, itu ditangani oleh orang per-orang. Saya tidak tahu
persis, penduduk Indonesia saat itu berapa jumlahnya. Saya hanya ingat
ada sekitar 77 jutaan penduduk Indonesia di tahun 1960-an. Jadi, pada
jaman Kyai Dahlan itu kira-kira ada 30 jutaan penduduk Indonesia, pada
saat lahirnya Muhammadiyah.

Yang dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR, hanya
sekitar 700 ribu. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan bahwa saat
Haji Wada' jumlah jama'ah yang hadir ada 140 ribu. Jika setiap orang
punya lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700 ribu.
Dibulatkan lagi, misalnya, menjadi 1 juta. Ummat yang sekitar 700
ribu sampai 1 juta itu bisa ditangani karena ada figur Nabi Muhammad
SAW, ada Abu Bakar, ada Umar bin Khattab, dan lain-lainya. Dan yang
kita kenal lainnya, ada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin bakal masuk
surga sebelum Rasullah meninggal.

Sekarang ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang seperti itu.
Kalau toh ada hanya segelintir. Katakanlah, kalau saya membuat contoh
tentang uswah hasanah, jujur saja, siapa orang Jogja yang layak
menjadi uswah hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum lagi di
Temanggung, siapa yang layak menjadi uswatun hasanah. Padahal
Muhammadiyah telah berkembang sedemikian luas. Ini baru dari sisi soal
uswah hasanah saja.

Ketika Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan Pekalongan,
ada audien/peserta pengajian itu, yang memper-hatikan betul terhadap
Kyai Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang alim dan orang saleh. Ia
memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diawasinya
ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi Kyai Dahlan
waktu itu mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang didirikan di
Jogjakarta. Hanya dengan melihat wajah, orang saleh ini bisa
menentukan apakah seseorang itu saleh, jujur, dan sebagainya. Ia tahu
hal itu tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa tidak puas
dengan hanya melihat penampilan Kyai Dahlan waktu itu.
Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan pulang ke Jogja orang tadi mengikuti.
Sampai di Jogja ia bertanya kepada orang, di masjid mana Kyai Dahlan
sholat. Ia tidak bertanya tentang apa, tapi cukup bertanya tentang
sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setengah jam sebelum adzan shubuh,
orang itu sudah datang ke masjid, maksudnya mau menunggu jam berapa
Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia tertegun karena orang yang
ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu komentarnya, "Pantas kalau
Kyai Haji Ahmad Dahlan mengaku sebagai pemimpin Muhammadiyah". Orang
itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan Mansur muda. Beliau adalah
saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh terkenal di Pekalongan,
yang berasal dari negeri Minangkabau.

Lain lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya beliau adalah
orang yang paling zuhud di Muhammadiyah, satu-satunya ketua PP
Muhammadiyah yang tidak punya rumah sendiri. Tempat tinggalnya di
Jalan Cik di Tiro adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Ketika
beliau meninggal, istrinya kemudian ikut salah seorang anaknya,
Sukriyanto AR. Sekarang, bekas rumah beliau itu telah dipugar dan
dibangun gedung berlantai tiga yang menjadi kantor PP Muhammadiyah
Jogjakarta yang baru, yang juga baru diresmikan pada 1 Muharram yang
lalu.
Namun bukan ini persoalannya. Para pengurus PP Muhammadiyah kalau
sakit biasanya memang dilayani oleh Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti
RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta. Lukman Harun ketika sakit,
sebelum meninggal, juga dilayani oleh Muhammadiyah di RSI Jakarta.

Ketika Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit, tidak ada
satupun orang Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga tidak ingin
diberi fasilitas. Tapi, sebuah kelompok pengajian kecil yang tidak
jauh dari kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan mau operasi.
Mereka tahu betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang pensiunan
pegawai Penerangan Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya hanya 80
ribu, bukan ratusan ribu. Kelompok pengajian tadi lalu menyebarkan
warta, dan terkumpullah uang sebanyak 600 ribu yang kemudian
diserahkan kepada keluarga Pak AR untuk biaya berobat.
Namun, setelah Pak AR sembuh, pengurus kelompok pengajian itu diundang
Pak AR. Pak AR mengucapkan terima kasih atas bantuan tersebut,
kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas, pengurus tadi
membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu. Pengurus
kelompok pengajian itu kaget dan berkata bahwa mereka telah ihlas. Pak
AR menjelaskan bahwa operasinya hanya menghabiskan biaya 300 ribu,
maka sisanya dikembalikan.

Coba, apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang ada malah
sebaliknya, ada mubaligh yang sampai menawar harga untuk sekali
ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi, berdampingan dengan
seseorang yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang penceramah
dari Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket pesawatnya,
dan ini harga mati. Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di Muhammadiyah
tidak boleh seperti itu.

Yang kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya lebih dari
200 juta. Jika pada masa Kyai Haji Ahmad Dahlan itu kira-kira ada 30
juta ummat yang juga sudah memerlukan kekuatan untuk berdakwah, dan
kekuatan itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya Zainuddin MZ,
yang dikenal sebagai da'i sejuta ummat, beliau tidak sanggup membangun
ummat. Di Jogja juga ada mubaligh terkenal. Tapi, paling-paling beliau
juga cuma bisa dikenal. Tidak akan bisa membangun ummat, karena untuk
membangun ummat diperlukan kekuatan massa, dan kita harus mau serius.

Saya cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan
Muhammadiyah di sini. Saya buat global saja, baik UMS, UMM, UMY,
UHAMKA dan sekitar 130 PTM, ditambah puluhan ribu sekolah
Muham-madiyah, 90% siswa atau mahasiswanya adalah bukan putra
Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika saat itu ada training untuk
mahasiswa baru, rata–rata sholatnya memakai usholli. Memang ada
sedikit yang berasal dari IPM/IRM.
Gugatan saya, baik yang di sekolah maupun yang di PTM, kalau mereka
masuk di lembaga pendidikan Muhammadiyah, masuk dengan usholli dan
keluar tetap usholli, maka Muhammadiyah sudah gagal dalam
menyelenggarakan pendidikannya. Sehebat apapun sekolah Muhammadiyah,
koq setelah sholat malah yasinan.
Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal itu, setiap
tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari sebanyak
itu, berapa yang kemudian menjadi mujahid dakwah?

Saya pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan Ketua
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah), ketika menjelang Muktamar di
Jakarta tentang hal ini. Siapa di antara alumni perguruan Muhammadiyah
itu, yang tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka, kurang lebih
lima tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu kita yang
membuatnya. Juga yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu, paling
tidak selama tiga tahun mereka kita didik.

PKI, waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka mampu
melahirkan kader-kader yang militan. Sedangkan di Muhammadiyah, siapa
di antara kita yang pantas di sebut sebagai kader militan. Ini perlu
menjadi PR kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara serius.
Jangan-jangan di Muhammadiyah ini malah cuma sekedar mencari
penghidupan saja. Apakah kalimat semboyan "Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah" masih relevan?
Padahal, waktu itu semboyan ini sangat terkenal dan biasa ditulis di
majalah dan di dinding-dinding gedung amal usaha Muhammadiyah.
Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini, dan bagaimana reaksi kita atas
ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.

Namun, alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah saat ini
sudah sebegitu pesat. Kita mungkin tidak tahu, yang namanya sholat Ied
di lapangan pada waktu itu belum ada di kota Jogjakarta. Sebab saat
itu sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak Sultan,
tidak boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied di
lapangan disuruh cari tempat sendiri, sehingga Muhammadiyah membeli
lapangan Asri di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah menyebar ke
mana-mana kalau sholat Ied itu diseleng-garakan di lapangan, sesuai
dengan sunnah Nabi. Memang ada 9 hadis tentang masalah ini, tapi hanya
ada satu hadis yang menyebut shalat Ied di masjid dan itu pun hadis
dhoif.
Kalau kita lihat di masjid-masjid, jika ada garis shaf yang miring
tidak sejajar dengan bangunan masjid (karena menyesuaikan arah
kiblat), itu adalah hasil dari perjuangan Kyai Dahlan. Dulu, untuk
memperjuangkan lurusnya arah kiblat ini, langgar Kyai Dahlan di Kauman
dirobohkan oleh tentara Kraton, karena Kyai Dahlan membetulkan arah
kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu adalah salah satu contoh
pengorbanan beliau.

Orang tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan. Termasuk
dalam hal qurban yang dilaksanakan di kantor-kantor,
sekolahan-sekolahan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah jasa Kyai
Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat kita lihat sudah merebak di mana-mana,
misalnya di kantor bupati menyembelih qurban seekor lembu, gubernur
juga seekor lembu, dan sebagainya. Padahal menyembelih qurban di
kantor dan sekolahan itu tidak ada nashnya. Alasanya hanya satu, yaitu
latihan. Dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang dengan itu
orang menjadi tahu Islam yang sebenarnya, melalui karya-karya Islami
Muhammadiyah tersebut.
Yang namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan orang saja.
Tapi di benak Kyai Dahlan, jadilah pengamalan dari surah itu,
panti-panti asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan pemahaman
beliau atas surat Al-Maun.

Di sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat. Tanpa ada
benturan yang berarti ia menjadi diminati oleh ummat. Cuma, sekarang
masalahnya terletak pada diri kita sendiri, karena kita ini sudah
menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pertanyaannya,
untuk apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Mau diapakan, misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang hidup, makan,
dan semuanya dicukupi Muhammadiyah, mau diapakan lagi mereka ini kalau
tidak kita jadikan kader kita.
Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang menarik,
dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau bisa tampil meyakinkan dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu adalah Haji Agus Salim.

Haji Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muhammadiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan.
Ternyata, menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga "ambisi" menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam berdebat. Dalam sidang Hoofdbestuur, argumentasi yang disampaikan Haji Agus Salim membuat seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan, karena menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
Setelah Kyai Dahlan melihat bahwa nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan memukul mejanya keras apa tidak.

Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan kalau dijawab, sebenarnya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam?
Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya "Beranikah kamu beragama Islam?". Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, "Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu". Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.

Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H. Djindar Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu
pertanyaan.
Sedangkan pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, "Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe" (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).

Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, bisa dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru sanggup mengaplikasikan dan merealisir ajaran Alquran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al An'am. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.

Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Alquran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw.
Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi
boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin.
Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuqi,
dan pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa mamati, dan
tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil alamin,
pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa
bidzaalika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana awwalul
muslimin, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada
Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang saya terjemahkan
menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuq diartikan
ibadah.
Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya
kitabnya, nusuq bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah adalah
nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusuqi
adalah pengorbananku. Jadi, "shalatku, pengorbananku, hidup matiku,
lillahi rabbil alamin".

Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai
kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… "Sungguh, shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah". Dalam terjemah
Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang
bisa tertegun, "Hanya karena untuk Allah rabbil alamin."
Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai
R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya langsung dari Kiyai
Dahlan dengan terjemahan tafsir "itu tidak untuk selain Allah".
Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa dianggap
sekutu.
Lalu ayat tadi bermakna apa? "Shalatku, pengorbananku, hidup dan
matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta". Laa syarikalah, tidak
ada sekutu selain Allah. "Aku diperintah untuk hidup dengan model cara
yang seperti itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk
anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan
tanah airku". Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan.
Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, lalu untuk apa? "Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela
tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena kemauan
tanah air, tetapi karena Allah". Di sini lalu maknanya, "berbuat
baiklah kamu kepada orang tuamu". Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar
karena naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada orang tua,
tetapi begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah, dari kata
"wa-ahsinuu, …..birrul walidaini".
Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan "wa ana awwalul muslimin.
O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik
kita untuk hidup model seperti itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang
lain.

Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak bisa yang
namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang
tulus berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat
yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liya'buduun.
Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat
yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan
satu doktrin kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain.
Maka, semua aktivitas hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah.
Di situlah makna hakekat dari Islam.

Dari ayat ini, beliau yang memang orang alim dan orang-orang generasi
pertama, bisa menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup
menjawab.
Maaf, jika orang sudah bicara politik, hampir bisa dipastikan yang
dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama
aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal kampanye,
jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari
oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini sepertinya tidak punya
panutan, siapa politikus kita yang bisa membawa amanah Islam. Rasanya
jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir,
yang kalau mau sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau dijemput
mobil.

Bermuhammadiyah adalah berislam. Ungkapan ini memang cukup tandas.
Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah bukan main
trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan
itu, "Akan datang kepada kamu sekalian, suatu jaman dimana Alquran
tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama. Memang
banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku dan tindakannya
jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi
sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya
menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka keluar
fitnah". Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika hal
ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya sepeninggal
Rasululah.

Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di
jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Alquran yang
punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya haadzal
qur'ana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan
Alquran kepada gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu akan
menolak, tunduk, hancur lumat karena takutnya kepada Allah. Itulah
kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.

Sekarang ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari. Ratusan
karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk
menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar,
simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapatkan pembaca
Alquran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang
sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang
terisak-isak karena mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.

Tidak ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat Alquran,
kecuali tersungkurnya karena sujud tilawah itu saja. Masih mending,
kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jum'at Shubuh, Nabi
selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan
di rakaat kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir tidak ada.
Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak
apalagi diamalkan.

Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang
Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal.
Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan saat prosesi
kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis
diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau
menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal
mengundang ahli tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap
Islamnya.

Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur
hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini
sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang
merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk
perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini yang terjadi
di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat
gado-gado.
Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih primitif,
membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang ajaran Hindu,
diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima, datang Islam
juga diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima. Semuanya bergabung
menjadi satu, Pancasila.

Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam.
Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan
kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini bisa dilihat
kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang
mengantar bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada
orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika
mengantar sampai di Bandara pun menangisnya bisa sampai sesenggukan.

Memang bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji
itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji
masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu
dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam.
Lima perkara itu adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji,
itu baru pondasi. Untuk membangun Keluarga Sakinah memang harus lima
perkara itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji
berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi
keluarga sakinah.

Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah,
bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya
tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya,
pelatihannya, dan sebagainya, bukan sekarang saatnya untuk mengungkap
masalah ini.
Kita bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam. Itulah yang
dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan
pasrah dengan tatanan aturan hidup Islam. Termasuk yang dulu juga
pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis
kalimat itu, hanya mendengar sepintas, "Hidup sepanjang kemauan
Islam".

Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani
menurut kemauan Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan pula menurut
kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi menurut kemauan Islam. Ini
yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat
mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari
bermuhammadiyah itu.

Para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham
apa makna berislam itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya tahu saja.
Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma.
Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi,
tahu saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua,
warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu baru ada
jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu
khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka
orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.

Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah bisa
tahu. Sekali mendengar ceramah sudah bisa tahu. Tetapi untuk bisa
faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang
sesuatu sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab
Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah
mengucapkan salam sampai tiga kali. Sementara, banyak di anatara kita
yang malas mengucap salam diulang sampai tiga kali. Malahan mungkin
kuatir disebut sebagai orang NU, karena biasanya orang NU itu yang
mengamalkan hal ini.

Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah

Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat
mereka dalam "wa-tawashau bil haq". Ada sebutan yang cukup populer
pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah sebutan untuk
jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya
berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya
nggak mau mengalah, kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang
seperti itu disebut mubaligh cleleng.

Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah
Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan
mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau dengan
mengucap salam, "Selamat pagi, Pak!". Beliau bertanya, "Kamu siapa?"
"Saya mahasiswa Bapak", katanya. "Kembali sana, ucapkan dulu
"Assalamu'alaikum".
Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap salam dengan
"kulonuwun". Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak dijawab,
padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu. Karena
berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya bermaksud
pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof. Kahar
Muzakkir sambil berkata, "Kibir kamu ya?" "Kenapa?" tanya orang itu.
Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan orang Islam
dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada tuntunannya
mengucap salam "Assalamu'alaikum" kalau bertamu ke rumah orang koq
malah "kulonuwun". Inilah contohnya mubaligh cleleng.

Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota
saja. Kalau anda pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan
kalau masih ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Saya masih sempat
kenal orangnya, ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan. Pekerjaannya
tukang kayu. Beliau termasuk orang yang telah mendapatkan
sentuhan-sentuhan dari Kyai Ahmah Dahlan. Padahal, Pak Khamdani ini
tidak termasuk orang terpelajar. Sekolahnya paling hanya sampai
sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak termasuk orang kaya. Tetapi
karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan, merasa mau bertabligh nggak
bisa, mau berdakwah pakai uang juga nggak ada uangnya, lalu beliau
mengumpulkan tukang kayu, menyumbang untuk Muhammadiyah lewat
keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang dibangun SR Muhammadiyah
I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini adalah SD Muhammadiyah
yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat orang-orang yang punya
ghiroh, diantaranya mujahid kayu tersebut.
Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah, disumbangkannya
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan
kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih
minim, ada mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil 'alamin
dibaca rabbil ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa haula walaa
quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk bertabligh.

Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara
membacanya belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian
ini sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU. Membaca
Quran saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai pasti dijawab,
"Dari pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani bertabligh. Inilah
wajah Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah
bertabligh.

Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah.
Dosennya Pak Amien Rais di Fisipol UGM, Pak Usman Tampubolon, orang
Batak, beliau aktif di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), tinggal di
Jogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek tentang
adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa.
Promotornya tidak mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman
Tampubolon untuk merubahnya. Pak Usman tidak mau merubah, "Wong saya
sendiri yang menyusun koq disuruh merubah", kata Pak Usman.
Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya,
dalam sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur Tengah, dengan
tampilnya Syeh Muhammad Abdul Wahab, yang karya paling terkenalnya
kitab tauhid, "Al Ushulust-tsalasah",30) ketika ajarannya diambil,
mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan di tanah
Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul Wahab diratakan. Maka,
yang namanya Syeh Abdul Wahab ini, di Indonesia juga sangat ditakuti.
Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol dengan perang Paderinya.

Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan
menjadi pegawai Keraton, koq bisa tenang, rukun dan asyik duduk
bersama orang Kraton yang masih mempercayai nenek moyang dengan agama
jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini
membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan
mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat, maka Muhammadiyah hanya ada
di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, koq Kyai Haji Ahmad
Dahlan tenang–tenang saja, mengapa tidak terjadi benturan.

Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang
masih melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama soal
kematian. Memang Muhammadiyah telah membersihkan hal-hal bid'ah.
Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi.
Dihidupkan lagi tradisi lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali yang lalu
membicarakan topik Dakwah Kultural. Orang belum tahu persis koq sudah
melangkah lebih lanjut.
Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup
anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan bangsa ini,
selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak
sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan waktu yang
singkat.

Ini merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu sedemikian
besarnya. Mereka punya seragam khusus dan punya pos-pos ribuan
banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu tahun 1999 kemarin, kekuatan
mereka seperti itu. Itulah barangkali yang melatar-belakangi Sidang
Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir
Muhammadiyah tidak menyadari tentang adanya budaya-budaya itu.
Masalah bagai-mana menari yang Islami, Muhammadiyah tidak bisa
menjawab.
Kalau saya ada jawaban lain kenapa perlu ada dakwah kultural. Saya
lebih cenderung memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad Dahlan waktu
itu memakai dakwah kultural? Tidak. Yang memakai itu kan Walisongo,
Sunan Kalijogo. Lalu, apa rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?

Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang lain,
adalah adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup
menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat oleh ummat.
Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua presiden,
terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto
adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di
bidang pendidikan.

Ketika berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di sebuah panti
asuhan yang gedungnya berlantai dua, sangat megah, saya diberitahu
bahwa yang membangun gedung itu adalah seorang pensiunan dari Jakarta.
Ia datang ke Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia mengakui
dulunya lulusan SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah lama
menjadi pegawai di Jakarta kemudian ia ingat kembali Muhammadiyah.
Sementara, kadang-kadang, kita kalau sudah jadi pegawai tidak kober
lagi mikir Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus. Apalagi kita
ini termasuk sebagai pewaris falsafah "sendu" (seneng duit), merasa
senang dengan hal itu. Harus secara jujur kita akui bahwa kita memang
senang terhadap duit.
Nah, pensiunan dari Jakarta tadi punya tabungan dan ingin
menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua tukang yang bekerja
membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh bagaimana
pengaruh pendidikan Muhammadiyah.

Kita juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah kita yang
memang belum bisa dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau kita lihat ke
sekretariat PP Muham-madiyah, anggota Muhammadiyah sekarang sudah
mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8. Artinya,
belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan yang sudah
meninggal. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari
Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah yang perlu dibenahi.

Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi

Pemahaman KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat 104 telah
melahirkan pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana
ulama pendahulu kita itu bisa menangkap isyarat-isyarat Alquran,
sehingga memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab, sebelum itu,
organisasi yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI yang muncul
sebelumnya karena kebutuhan yang mendesak. SDI muncul untuk
mengim-bangi perdagangan Cina. Sedang kelahiran SI tidak lepas dari
pengaruh politik. Kita tahu, di dunia politik ada dua rayuan, rayuan
surga dan rayuan kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada cuma surga
saja yang menjadi harapannya.

Berorganisasi, oleh beliau-beliau ini, walaupun saat itu belum ada
Majelis Tabligh, tapi di benak para pemimpin kita itu sudah jauh
sekali yang dijangkau untuk nanti bagaimana rencana ke depannya.
Mengapa begitu yakin? Sebab tidak mungkin tegaknya Islam, izzul Islam
wal muslimin, itu ditangani oleh orang per-orang. Saya tidak tahu
persis, penduduk Indonesia saat itu berapa jumlahnya. Saya hanya ingat
ada sekitar 77 jutaan penduduk Indonesia di tahun 1960-an. Jadi, pada
jaman Kyai Dahlan itu kira-kira ada 30 jutaan penduduk Indonesia, pada
saat lahirnya Muhammadiyah.

Yang dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR, hanya
sekitar 700 ribu. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan bahwa saat
Haji Wada' jumlah jama'ah yang hadir ada 140 ribu. Jika setiap orang
punya lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700 ribu.
Dibulatkan lagi, misalnya, menjadi 1 juta. Ummat yang sekitar 700
ribu sampai 1 juta itu bisa ditangani karena ada figur Nabi Muhammad
SAW, ada Abu Bakar, ada Umar bin Khattab, dan lain-lainya. Dan yang
kita kenal lainnya, ada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin bakal masuk
surga sebelum Rasullah meninggal.

Sekarang ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang seperti itu.
Kalau toh ada hanya segelintir. Katakanlah, kalau saya membuat contoh
tentang uswah hasanah, jujur saja, siapa orang Jogja yang layak
menjadi uswah hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum lagi di
Temanggung, siapa yang layak menjadi uswatun hasanah. Padahal
Muhammadiyah telah berkembang sedemikian luas. Ini baru dari sisi soal
uswah hasanah saja.

Ketika Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan Pekalongan,
ada audien/peserta pengajian itu, yang memper-hatikan betul terhadap
Kyai Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang alim dan orang saleh. Ia
memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diawasinya
ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi Kyai Dahlan
waktu itu mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang didirikan di
Jogjakarta. Hanya dengan melihat wajah, orang saleh ini bisa
menentukan apakah seseorang itu saleh, jujur, dan sebagainya. Ia tahu
hal itu tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa tidak puas
dengan hanya melihat penampilan Kyai Dahlan waktu itu.
Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan pulang ke Jogja orang tadi mengikuti.
Sampai di Jogja ia bertanya kepada orang, di masjid mana Kyai Dahlan
sholat. Ia tidak bertanya tentang apa, tapi cukup bertanya tentang
sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setengah jam sebelum adzan shubuh,
orang itu sudah datang ke masjid, maksudnya mau menunggu jam berapa
Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia tertegun karena orang yang
ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu komentarnya, "Pantas kalau
Kyai Haji Ahmad Dahlan mengaku sebagai pemimpin Muhammadiyah". Orang
itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan Mansur muda. Beliau adalah
saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh terkenal di Pekalongan,
yang berasal dari negeri Minangkabau.

Lain lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya beliau adalah
orang yang paling zuhud di Muhammadiyah, satu-satunya ketua PP
Muhammadiyah yang tidak punya rumah sendiri. Tempat tinggalnya di
Jalan Cik di Tiro adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Ketika
beliau meninggal, istrinya kemudian ikut salah seorang anaknya,
Sukriyanto AR. Sekarang, bekas rumah beliau itu telah dipugar dan
dibangun gedung berlantai tiga yang menjadi kantor PP Muhammadiyah
Jogjakarta yang baru, yang juga baru diresmikan pada 1 Muharram yang
lalu.
Namun bukan ini persoalannya. Para pengurus PP Muhammadiyah kalau
sakit biasanya memang dilayani oleh Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti
RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta. Lukman Harun ketika sakit,
sebelum meninggal, juga dilayani oleh Muhammadiyah di RSI Jakarta.

Ketika Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit, tidak ada
satupun orang Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga tidak ingin
diberi fasilitas. Tapi, sebuah kelompok pengajian kecil yang tidak
jauh dari kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan mau operasi.
Mereka tahu betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang pensiunan
pegawai Penerangan Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya hanya 80
ribu, bukan ratusan ribu. Kelompok pengajian tadi lalu menyebarkan
warta, dan terkumpullah uang sebanyak 600 ribu yang kemudian
diserahkan kepada keluarga Pak AR untuk biaya berobat.
Namun, setelah Pak AR sembuh, pengurus kelompok pengajian itu diundang
Pak AR. Pak AR mengucapkan terima kasih atas bantuan tersebut,
kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas, pengurus tadi
membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu. Pengurus
kelompok pengajian itu kaget dan berkata bahwa mereka telah ihlas. Pak
AR menjelaskan bahwa operasinya hanya menghabiskan biaya 300 ribu,
maka sisanya dikembalikan.

Coba, apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang ada malah
sebaliknya, ada mubaligh yang sampai menawar harga untuk sekali
ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi, berdampingan dengan
seseorang yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang penceramah
dari Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket pesawatnya,
dan ini harga mati. Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di Muhammadiyah
tidak boleh seperti itu.

Yang kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya lebih dari
200 juta. Jika pada masa Kyai Haji Ahmad Dahlan itu kira-kira ada 30
juta ummat yang juga sudah memerlukan kekuatan untuk berdakwah, dan
kekuatan itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya Zainuddin MZ,
yang dikenal sebagai da'i sejuta ummat, beliau tidak sanggup membangun
ummat. Di Jogja juga ada mubaligh terkenal. Tapi, paling-paling beliau
juga cuma bisa dikenal. Tidak akan bisa membangun ummat, karena untuk
membangun ummat diperlukan kekuatan massa, dan kita harus mau serius.

Saya cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan
Muhammadiyah di sini. Saya buat global saja, baik UMS, UMM, UMY,
UHAMKA dan sekitar 130 PTM, ditambah puluhan ribu sekolah
Muham-madiyah, 90% siswa atau mahasiswanya adalah bukan putra
Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika saat itu ada training untuk
mahasiswa baru, rata–rata sholatnya memakai usholli. Memang ada
sedikit yang berasal dari IPM/IRM.
Gugatan saya, baik yang di sekolah maupun yang di PTM, kalau mereka
masuk di lembaga pendidikan Muhammadiyah, masuk dengan usholli dan
keluar tetap usholli, maka Muhammadiyah sudah gagal dalam
menyelenggarakan pendidikannya. Sehebat apapun sekolah Muhammadiyah,
koq setelah sholat malah yasinan.
Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal itu, setiap
tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari sebanyak
itu, berapa yang kemudian menjadi mujahid dakwah?

Saya pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan Ketua
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah), ketika menjelang Muktamar di
Jakarta tentang hal ini. Siapa di antara alumni perguruan Muhammadiyah
itu, yang tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka, kurang lebih
lima tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu kita yang
membuatnya. Juga yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu, paling
tidak selama tiga tahun mereka kita didik.

PKI, waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka mampu
melahirkan kader-kader yang militan. Sedangkan di Muhammadiyah, siapa
di antara kita yang pantas di sebut sebagai kader militan. Ini perlu
menjadi PR kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara serius.
Jangan-jangan di Muhammadiyah ini malah cuma sekedar mencari
penghidupan saja. Apakah kalimat semboyan "Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah" masih relevan?
Padahal, waktu itu semboyan ini sangat terkenal dan biasa ditulis di
majalah dan di dinding-dinding gedung amal usaha Muhammadiyah.
Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini, dan bagaimana reaksi kita atas
ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.

Namun, alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah saat ini
sudah sebegitu pesat. Kita mungkin tidak tahu, yang namanya sholat Ied
di lapangan pada waktu itu belum ada di kota Jogjakarta. Sebab saat
itu sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak Sultan,
tidak boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied di
lapangan disuruh cari tempat sendiri, sehingga Muhammadiyah membeli
lapangan Asri di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah menyebar ke
mana-mana kalau sholat Ied itu diseleng-garakan di lapangan, sesuai
dengan sunnah Nabi. Memang ada 9 hadis tentang masalah ini, tapi hanya
ada satu hadis yang menyebut shalat Ied di masjid dan itu pun hadis
dhoif.
Kalau kita lihat di masjid-masjid, jika ada garis shaf yang miring
tidak sejajar dengan bangunan masjid (karena menyesuaikan arah
kiblat), itu adalah hasil dari perjuangan Kyai Dahlan. Dulu, untuk
memperjuangkan lurusnya arah kiblat ini, langgar Kyai Dahlan di Kauman
dirobohkan oleh tentara Kraton, karena Kyai Dahlan membetulkan arah
kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu adalah salah satu contoh
pengorbanan beliau.

Orang tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan. Termasuk
dalam hal qurban yang dilaksanakan di kantor-kantor,
sekolahan-sekolahan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah jasa Kyai
Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat kita lihat sudah merebak di mana-mana,
misalnya di kantor bupati menyembelih qurban seekor lembu, gubernur
juga seekor lembu, dan sebagainya. Padahal menyembelih qurban di
kantor dan sekolahan itu tidak ada nashnya. Alasanya hanya satu, yaitu
latihan. Dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang dengan itu
orang menjadi tahu Islam yang sebenarnya, melalui karya-karya Islami
Muhammadiyah tersebut.
Yang namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan orang saja.
Tapi di benak Kyai Dahlan, jadilah pengamalan dari surah itu,
panti-panti asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan pemahaman
beliau atas surat Al-Maun.

Di sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat. Tanpa ada
benturan yang berarti ia menjadi diminati oleh ummat. Cuma, sekarang
masalahnya terletak pada diri kita sendiri, karena kita ini sudah
menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pertanyaannya,
untuk apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Mau diapakan, misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang hidup, makan,
dan semuanya dicukupi Muhammadiyah, mau diapakan lagi mereka ini kalau
tidak kita jadikan kader kita.
(sumber: email dari latif_ajronmoslem@yahoo.com untuk Muhammadiyah_Society@yahoogroups.com)