Salurkan Waqaf, Infaq dan Shadaqah/Sumbangan Anda untuk PEMBANGUNAN MASJID AD DA'WAH Jl.KH.Sirodj Salman RT.27 Samarinda melalui: BANK SYARIAH MANDIRI Rek. 7036237362

Minggu, 21 Juni 2009

Istighfar

Hasan al-Basri adalah ulama besar. Beliau tabiin (generasi sesudah sahabat) yang luas ilmunya. Bahkan Wasil bin Atha’, tokoh Mu’tazilah, mengaku dirinya murid Hasan. Suatu hari seseorang datang kepada beliau, mengeluhkan musim paceklik yang panjang dan penghasilannya menyusut. “Minta ampunlah ( istighfar) kepada Allah agar masa paceklik itu segera berlalu,” kata Hasan memberi nasehat.
Datang lagi seseorang mengadukan keadaan dirinya kepada Hasan. “ Guru, saya ingin punya keturunan. Doakanlah kepada Tuhan agar aku dikaruniai anak,” pintanya. Hasan menjawab: “Istighfarlah kepada Allah agar kamu dikaruniai anak.”
Datang lagi orang ketiga pada Hasan. Orang ini mengeluh tentang tanamannya yang tidak kunjung berbuah. Hasan lalu berkata: “Mohon ampunlah kepada Allah agar tanamanmu cepat berbuah.” Para murid yang mendengar jawaban gurunya heran. Tiga pertanyaan berbeda dijawab dengan jawaban yang sama: Istighfar atau minta ampun. Tapi diperlukan keberanian bagi seorang murid menegur gurunya, apalagi guru sekelas Hasan al-Basri.
Salah seorang memberanikan diri. “Wahai guru kami. Ada tiga orang berbeda datang kepada guru dengan keluhan berbeda. Tetapi mengapa guru memberi jawaban yang sama atas tiga keluhan berbeda?” tanya murid itu. Hasan dengan senyum ramah mengatakan: “Jawabanku itu bukan atas kemauanku sendiri melainkan berdasarkan firman Allah.” Hasan lalu membacakan surat Nuh ayat 10-13: “Maka aku katakan: mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit untukmu. Dia akan memberimu banyak harta dan anak-anak dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan (mengadakan pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak meletakkan harapan kepada Allah.”
Cara ulama besar Hasan al-Basri menjawab keluhan umatnya sungguh menarik. Ia memfokuskan pada satu kata kunci yaitu istighfar. Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat ini merupakan bukti bahwa beristighfar dan bertaubat akan menambah rezeki dan keturunan serta hujan turun membasahi bumi yang gersang. Hamka dalam tafsir Al-Azhar memberi komentar tentang ayat ini bahwa ampunan Tuhan adalah cahaya hidup. Jika Tuhan memberi ampunan, segala pekerjaan menjadi mudah, dada pun lapang dan hidup terang benderang.
Zaman kita ini adalah sebuah zaman yang padat dengan keluhan dan amat sedikit beristighfar. Suka mencari kambing hitam tetapi enggan evaluasi diri. Suka menuding-nuding orang tetapi enggan menerima koreksi. Suka tergesa-gesa dikejar waktu, sehingga tak sempat berhenti sejenak untuk merenung. Bertanya, apa yang aku cari dalam hidup ini?
Ketika ada puluhan ribu calon legislatif yang kecewa karena gagal meraih kursi, saya teringat nasehat Hasan al-Basri ini. Ketika angka pengangguran terus merambat naik, saya teringat pesan beliau. Kita tidak tahu apakah kita sempat beristighfar, merenungi kesalahan diri, mengakui dosa-dosa kita pribadi maupun dosa kolektif ketika gagal mencapai keinginan?
Tetapi istighfar bukanlah mantera yang sekali ucap bisa menyulap keinginan menjadi kenyataan. Istighfar adalah kesadaran bahwa telah terjadi kesalahan langkah, kesalahan strategi bahkan mungkin kesalahan niat sejak awal. Istighfar adalah pintu taubat. Ketika seorang caleg gagal meraih kursi, maka istighfar berarti juga melakukan evaluasi dengan penuh kerendahan hati.
Ketika pimpinan persyarikatan mengeluhkan tentang Muhamamdiyah yang banyak rintangan di daerahnya, pimpinan itu harus istighfar, menemukan kesalahannya dan bertaubat dalam arti tekad mengubah langkahnya, cara dan pendekatan dakwahnya. Istighfar adalah kesediaan untuk berubah. Misalnya dari pendekatan fiqih berubah pendekatan kesejahteraan dan ekonomi sehingga ‘penolakan’ bisa berkurang secara signifikan. Tentu ketulusan nawaitu tetap menjadi kunci karena niat itu sumber motivasi dan militansi.
Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah harus tetap berpegang pada jati dirinya yaitu kembali pada al-Quran dan tradisi Nabi, antara lain keseimbangan antara zikir dan fikir, doa dan usaha. Jangan ada orang Muhammadiyah yang hanya getol berikhtiar, tetapi mengabaikan zikir atau istighfar. Dalam al-Quran beberapa ayat menyerukan agar kita beristighfar pada ujung malam. Sebaliknya jangan hanya zikir merenungi nasib tanpa usaha maksimal. Yang terjelek dan tidak boleh terjadi pada orang Muhammadiyah adalah lemah dalam zikir dan. Ini tipe manusia benalu.
oleh : MuhKholidAS
Pengarang : Nur Cholis Huda
Diterbitkan di: Juni 21, 2009

Tidak ada komentar: